Ketika Janji Seringan Kapas

Sebut saja Rika, si kecil yang belum genap berusia sepuluh tahun ini kerap merengek- rengek bila keinginannya tidak dipenuhi. Suatu saat dia ingin pulang kerumah ketika ibunya masih sibuk dengan ibu- ibu arisan lainnya, terang saja ibunya tak segera menanggapi permintaannya. Bisa ditebak, beberapa saat setelah itu tangisan menyayat andalan Rika pun membahana. Hanya butuh waktu sedetik untuk menarik perhatian setiap hadirin yang datang. Ternyata ibunya tak kalah pintar. Dihampirinya Rika, kemudian diiming- imingi dengan janji membelikan makanan kesukaannya. Terbayang sekotak coklat yang akan dinikmatinya, tangisnya pun berhenti.

Beberapa saat setelah acara arisan berakhir, Rika pulang bersama ibunya. Tertidurlah Rika sepanjang perjalanan pulang, kelelahan nampaknya dia setelah harinya dihabiskan bersama ibunya menghadiri acara yang menurutnya menjemukan. Selepas tidurnya, Rika celingukan mencari sekotak coklat yang ibunya janjikan. Tidak ada. Ternyata coklat yang dijanjikan belum di dapatinya. Segera dia menuju ke tempat ibunya berada dan mulai merengek- rengek. Terkagetlah dia, ternyata ibunya bukannya memenuhi janjinya tetapi malah balik memarahinya. “Anak kok malu- maluin saja. Tidak lihat apa ibu sedang sibuk arisan !!, sudah sana tidur, ndak bakal ibu belikan coklat !! jangan diulangi lagi !!.” bentak ibunya. Terperangah Rika mendengarnya. Hal ini bukan sekali- dua kali dia alami. Berulang kali terjadi hal yang sama, meski tak setiap waktu disertai bentakan dari ibunya.

Sebuah kisah fiksi singkat memulai pembahasan ini. Tanpa kita sadari, meski tidak sepersis itu terkadang kita sering melakukan hal semisal. Mulai dari janji untuk pulang tepat waktu kepada sang istri yang terlupa ketika sudah asyik berbincang dengan klien tentang pekerjaan. Atau janji membelikan oleh- oleh untuk si kecil sepulang dari bepergian jauh. Sekecil apapun bentuknya, yang kita katakan itu adalah janji.

Begitu mudahnya kita mengingkari janji yang kerap kali kita katakan, semudah itu pula kita mengumbar- umbar janji- janji manis. Kasus yang ada bisa diibaratkan seperti seorang pangeran yang sedang berjuang untuk menggaet pujaan hatinya. Sejuta bualan dia katakan untuk merebut perhatian sang pujaan hati dan memastikannya tertawan dalam pesona semu. Singkatnya analogi “Seorang pangeran yang berburu pujaan hati” ini bila di pandang melalui keumuman masalah maka bisa dimaknai, ketika seseorang sedang memburu tujannya maka tak jarang bualan- bualan itu dia ucapkan untuk mencapai citanya.

Itulah kebiasaan janjiholic yang mulai menjamur di kalangan kita. Mudah berjanji, mudah bersumpah. Bahkan, ada pula orang yang sampai pada tingkatan latah dalam mengucap janjinya. Malah terkadang dia sendiri tak sadar bahwa dirinya telah berjanji. Sedemikian murahnya janji pada masa kini.

Fenomena lucu yang kerap kita saksikan, kerap kali ada pungguk menjanjikan akan menghadirkan bulan di hadapan kita. Secara rasional, pungguk hanyalah perindu bulan yang tak mungkin bisa mendatangkannya, hal itu merupakan suatu kemustahilan yang tak perlu diragukan lagi. Tapi ini yang terjadi pada kita sekarang. Mempercayai janji orang yang bahkan membayangkan untuk memenuhi janjinya saja tidak sanggup, akan tetapi bermodal dengan manisnya lisan setiap orang pasti akan mengangguk percaya. Siapa yang salah ? pengumbar janji ataukah yang mempercayainya ?.

Implikasinya rasa kecewa adalah ekspresi pertama ketika ternyata janji itu hanya sekedar pemanis tanpa realisasi. Selanjutnya tumbuh rasa dengki dan dendam. Akan tetapi tak jarang pula ada yang kemudian ganti termakan janji manis yang lain, melupakan pengalaman pahit yang lalu. Seakan menjadi korban janji sudah menjadi hobi kita.

Adapula yang akhirnya menjadi janjiphobia, antipati kepada siapapun yang menjanjikan sesuatu hal kepadanya tanpa pandang bulu. Dia menjadi sangat jijik dengan setiap janji- janji. Seakan menyamaratakan setiap yang berjanji pasti tidak akan menepatinya. Janjinya hanyalah sebagai pemanis kata saja.

Bagaimanapun, janjiholic maupun janjiphobia sudah menjadi bagian dari hidup kita. Negatif. Pasti setiap orang yang masih bisa berpikir sehat akan berpendapat sama. Lalu bagaimana cara kita bisa menghindari dua kategori sifat negatif di atas ?

Hendaknya bagi para janjiholic sadar diri setiap akan mengumbar janjinya. Bisakah dia menepatinya ?. Ingat, janji adalah hutang. Setiap hutang wajib kita lunasi, atau minim kita harus meminta kehalalan kepada pihak yang kita beri janji supaya mengikhlaskannya. Seorang muslim yang mati syahid pun ditahan Allah di pintu Syruga dikarenakan hutangnya, menanti orang yang dihutangi tadi mengikhlaskannya. Lalu kira- kira bagaimana nasib para janjiholic bila dia tidak menepati janji- janjinya ?.

Teruntuk para janjiphobia, tak perlulah terlalu paranoid dengan janji- janji. Bagaimanapun hal itu tak bisa lepas dari kehidupan kita. Toh, di dunia ini tak semua orang berjiwa penipu, masih ada orang yang sangat menghargai janji- janji mereka. Paling tidak, sebelum mempercayai sebuah janji, kita bisa mempertimbangkan kapabilitas si pemberi janji. Akankah dia mampu melakukannya ?.

Status janji sebagai hutang menjadi pemacu kita untuk melakukannya, bukan hanya pemanis kata, bukan pula sekedar perangkap mangsa. Janji kelak akan dimintai pertanggung jawabannya, sekecil apapun bentuknya. Karenanya perhatikanlah lisan kita, jangan sampai dia menjerat kita di perhintungan amal di akherat sana.

0 komentar:

Posting Komentar