Ketika Hati Rindu Ramadhan


Ramadhan telah lewat, akan tetapi euforia-nya masih terasa lekat dalam ingatan. Riuh rendah suara tilawah yang berdengung di masjid-masjid. Penuh sesaknya para jama’ah lima waktu sholat. Senyum ceria anak-anak kecil berangkat belajar mengaji di sore hari. Berduyun-duyunnya bapak-bapak dan ibu-ibu menuju pengajian-pengajian menjelang buka puasa. Lantangnya suara mubaligh menyampaikan pesan ilahi menjelang tarawih. Meski semua tak lepas dari kekurangan, minimal suasana seperti itulah yang memberi sensasi sejuk bagi sisi ruhaniyah di hati.

Ramadhan telah lewat, dan barokahnya selalu dirindui. Barokah yang memunculkan kemudahan dalam beribadah. Memburu pahala menjadi candu hingga tiada rasa jemu melakukannya. Menyeru orang kepada kebaikan menjadi tren. Intinya setiap keinginan untuk berbuat baik disambut baik oleh suasana yang tercipta. Terwujudlah kondisi yang amat kondusif untuk tawashou bil haq.

Menilik sudut pandang berbeda bagi setiap orang. Mungkin ada sisi-sisi lain yang berkesan bagi kita selama Ramadhan yang lalu. Tentunya tak bisa untuk disebutkan satu persatu di sini. Yang akhirnya hal tersebut membuat kita tanpa sadar ingin merengek-rengek agar segera menjumpai Ramadhan kembali. Rindu akan Ramadhan senantiasa bergelora di hati kita.

Antara ukhrowi dan duniawi

Sebagaimana telah maklum bagi kita semua, dunia dijadikan medan pengujian. Ada yang lolos, ada pula yang gagal. Pilihannya berupa orientasi hidup. Terpancang pada dunia saja, atau jauh hingga akherat kelak. Ujiann dunia ini hijau menarik di mata. Walhasil, tak sedikit dari hambanya yang tumbang ketika merentasi ujian tersebut.

Dalam sebuah riwayat oleh Bukhori dan Muslim, Anas bin Malik, seorang pemuda yang selalu menyertai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bercerita, bahwa Rasulullah pernah bersabda, "Ada tiga hal yang mengikuti mengikuti mayat ketika di bawa ke kubur, yaitu keluarganya, hartanya dan amalnya. Yang dua kembali dan satu tetap tinggal menyertainya. Keluarga dan hartanya kembali sedang amalnya tetap mengikutinya.”

Sebuah ingatan dari Rasulullah untuk umatnya. Bahwa yang kekal adalah amalan. Sedangkan harta dan keluarga tak mungkin akan menemaninya hingga ke alam sana. Meski demikian, banyak yang gagal memprioritaskan antara 3 hal yang akan menyertainya kelak menuju kehidupan selanjutnya. Demikian juga dalam menyikapi kerinduannya pada bulan Ramadhan. Ada beberapa pihak yang merindukan Ramadhan karena sebab lain.

Sudah menjadi maklum bagi kita, barokah Ramadhan tak terbatas hanya pada barokah ukhrowi saja. Barokah duniawipun tak kalah banyaknya. Tanyalah pada para penjaja makanan. Sehari berjualan keliling di hari biasa, terkalahkan hasilnya dengan hanya beberapa jam berjualan menjelang dan setelah berbuka puasa. Pedagang kain pun bersyukur dengan datangnya Ramadhan. Setiap hari tanpa putus orderan selalu didapat. Berbanding lurus dengan nasib mujur sang Penjahit. Animo orang-orang akan baju baru menjadi keuntungan tersendiri baginya. Dan masih banyak golongan lain yang diuntungkan adanya barokah duniawi tersebut.

Sayangnya, bagi sebagian orang barokah duniawi ini merubah orientasi tujuan kerinduannya akan Ramadhan. Alih-alih merindukan suasana ibadah di bulan Ramadhan, mereka pun merindukan keuntungan duniawi yang bak mendapat durian runtuh. Bahkan, terkesan mereka lebih merindukan faktor kedua daripada yang pertama.

Ibarat pedagang jas hujan yang amat bersyukur ketika musim kemarau berakhir. Ada pihak yang mengharapkan datangnya Ramadhan kembali hanya karena barokah duniawinya saja. Tak lebih.

Miris, ironis, dan menyedihkan jika ternyata kerinduan Ramadhan itu sampai hanya dimaknai serendah itu. Kerinduan akan barokah ukhrowi hilang sirna, tergantikan harapan-harapan duniawi semata. Semoga kita terjauhkan dari itu semua.

Ramadhan dirindui karena suasana khasnya. Karena rahmat-rahmat Allah di dalamnya. Ramadhan adalah bulan yang Allah spesialkan sebagai titik awal perubahan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, atau paling tidak menjadi pemantik bagi semangat ruhiyah yang lesu. Karena itulah kita selalu merindukan Ramadhan.

Ramadhan Sepanjang Masa

Masih seputar rindu Ramadhan, saking rindunya sempat pula terlintas di benak saya, “Ah, alangkah enaknya jika setahun penuh setiap bulannya adalah bulan Ramadhan.” Mengapa Allah tak menciptakan demikian saja? Dan manusia akan berlomba-lomba untuk mengingat-Nya. Manusia tak akan memiliki kecenderungan untuk mengarah kepada perbuatan buruk. Dan hidup akan menjadi lebih tentram.

Tak lama, saya tersadar dan beristighfar telah menghayal yang tidak-tidak. Teringatlah saya tentang kecenderungan sifat manusia. Meski tidak bisa dipukul rata, akan tetapi mayoritas demikian. Manusia cenderung akan terbiasa dan menjadi bosan dengan aktifitas yang sama dan monoton. Kecuali mereka yang dirahmati Allah.

Subhanallah, bisa jadi kalau Allah menjadikan setiap bulan dalam setahun seperti bulan Ramadhan, rasa rindu kita akan bulan tersebut akan hilang digantikan rasa bosan. Belum lagi suasana khas yang biasanya ada akan pudar karena sudah terbiasa. Sungguh, ternyata Allah menciptakan segalanya bukanlah sia-sia belaka. Selalu ada hikmah dibaliknya.

Akhirnya, cukuplah rasa rindu itu menjadi penyemangat kita untuk senantiasa mengharap kehadiran Ramadhan. Harap-harap cemas dengan tiada putus-putus menjaga ibadah-ibadah yang kita rutini di bulan itu sepanjang tahun. Mencoba untuk menanamkan rasa khawatir di dalam hati kita. Jikalau tahun depan tak bisa lagi jumpa, minimal kita sudah mempertahankan eksistensi Ramadhan Sepanjang Masa semampu kita. Allah yang akan menghargai keistiqomahan dan harap rindu kita, meski tak bisa lagi menemuinya.