Mengecap Manisnya Dunia, Bolehkah?

Dunia ini Allah ciptakan dengan keindahan sedemikian rupa, karena sifat kasih sayang kepada para hamba-NYa. Cobalah sesekali berkunjung ke tempat-tempat wisata. Tidak salah bila kita duduk termenung merenungi ciptaan Allah seperti air terjun, hutan lindung, danau, atau panorama pantai ketika matahari sudah mencapai ufuk barat. Di tempat-tempat itu kita akan dirayapi sebuah perasaan takjub, keindahan yang terkadang sering luput dari perhatian kita.

Suatu ketika Nabi Sulaiman sedang asyik merawat kuda bersayap miliknya. Kuda-kuda itu merupakan tunggangan kesayangan beliau karena kecepatannya yang luarbiasa. Saking sayangnya beliau tidak menyerahkan perawatannya kepada bawahannya. Hingga waktu beribadah menjelang beliau masih asyik dengan kuda-kuda tersebut. Kuda-kudanya melupakannya dari kewajibannya menyembah kepada Allah. Ketika selesai, beliau baru menyadari bahwa waktu beribadah telah lewat. Dengan penuh rasa penyesalan beliau menangis tersedu-sedu. Memohon ampun kepada Allah akan kelalaiannya dari memenuhi hak Allah untuk diibadahi.

Serta merta beliau menuju kandang kuda-kuda bersayap kesayangannya. Meski cintanya demikian besar terhadap kuda-kuda tersebut, namun rasa penyesalannya lebih menggunung. Disembelihnya kuda-kudanya sebagai tebusan akan kelalaiannya dari ibadah. Beliau yakin cinta pada Allah lebih berharga dari cinta pada dunia yang hina.

Kisah tentang Nabi Sulaiman ini meski berasal dari kisah Isro’iliyat, dan masih diragukan keshohihannya, akan tetapi paling tidak bisa memberi kita gambaran tentang dahsyatnya godaan dunia. Jarang sekali manusia yang bisa luput dari godaannya. Karena memang Allah ciptakan dunia ini sebagai kenikmatan yang menipu.

Obsesi dan ambisi. Dua istilah ini yang tidak jarang menjadi sarana penipuan bila salah penempatannya. Ketika kita mulai terobsesi akan sesuatu yang benilai duniawi kita terlupa akan posisi kita sebagai seorang hamba. Saat ambisi akan suatu tujuan muncul, terkadang kita lupa untuk memenuhi hak-hak Allah sebagai Dzat yang menciptakan kita.

Namun, adapula sekelompok manusia yang gamang dalam menyikapi dunia. Dia benar-benar berusaha untuk tidak menyentuh sedikitpun keindahan dunia. Ketakutan yang demikian besar kalau-kalau dia tertipu godaannya.

Berbanding terbalik dengan hamba dunia. Mereka enggan menikah. Tidak tertarik dengan kehidupan mewah. Rumahnya tak lebih dari ruangan yang cukup untuk merebahkan badan, bahkan tidak jarang hanya berupa kain dipancangkan membentuk tenda sederhana. Makanan yang dikonsumsi hanyalah roti keras atau beras yang tak layak makan. Pakaian compang-camping dianggap cukup sebagai penutup badannya. Hidupnya hanya dihabiskan untuk memuja-muji Allah. Beribadah tanpa mengenal waktu. Akherat menjadi tujuan hidup mereka tanpa melirik sedikitpun dunianya.

Terkadang kehidupan semacam ini menjadi pelampiasan para hamba dunia yang terhempas karena tipuannya. Mereka yang jatuh terpuruk setelah dunia mengecohnya. Godaan dunia menipunya karena terbutakan dengan ambisi dan obsesi. Berbondong-bondong mereka meninggalkan dunianya menjadi orang-orang sufi. Seakan mereka telah menemukan cahaya dalam kelamnya kehidupan mereka sebelumnya.

Mirisnya mereka melupakan tugas yang Allah bebankan kepada Adam di awal penciptaan dahulu. Allah memberi tanggungjawab Adam sebagai seorang khalifah dimuka bumi. Mengatur bumi, mencegahnya dari kerusakan, dan membumikan syari’at. Dengan menjadi orang-orang sufi, secara tidak langsung mereka telah melupakan kewajiban yang satu ini.

Masih terngiang perkataan ibunda Aisyah tentang Umar bin Khottob saat melihat para pemuda hanya terpekur di tempat ibadah, berjalan lemas dengan muka tertunduk, “Wahai pemuda, ketahuilah Umar adalah sebaik-baik ahli ibadah, tetapi ketika dia berkata lantang, ketika berjalan tegap, ketika memukul pun terasa sakit”.

Atau, kisah seorang mujahid, ahli ibadah, ahli ilmu, Ibnul Mubarrok, yang mengirim syair kepada Fudahil bin ‘Iyadh sebagai penjaga tanah Haramain. Dia adalah sebaik- baik contoh pada masanya, dia sangat wara’ tetapi tidak meninggalkan dunianya sama sekali. Bahkan, dalam sebuah riwayat dikisahkan dia menanggung biaya haji orang sekampungnya.

Suatu ketika Ibnul Mubarok mendatangkan kafilah dagang dari khurosan ke mekkah, kemudian al- Fudhail berkomentar, “Wahai Al Mubarak Anda telah memerintahkan kepada kami agar berlaku zuhud, menyedikitkan hal-hal duniawi dan merasa cukup namun kami melihat anda membawa barang-barang dari negara khurasan ke tanah mekah, bagaimana kamu melakukan itu? Ibnu Al Mubarak menjawab, “Wahai Abu Ali, sesungguhnya aku melakukan hal itu untuk menjaga diriku, menjaga kehormatanku dan untuk menopang dalam bertaat kepada Allah, aku tidak melihat kebaikan kecuali aku harus melakukannya dengan cepat.” Subhanallah, sangat cerdas apa yang dilakukan oleh beliau Ibnul Mubarok. Memanfaatkan dunianya untuk menyokong kepentingan akhiratnya kelak.

Dunia kerap kali menipu kita dengan pesonanya. Namun, bukan berarti kita menjadi antipati dan meninggalkannya total. Menjadi hamba dunia bukan pilihan yang tepat. Akan tetapi, mengebiri diri dengan menjadi orang sufi juga bukanlah solusi yang dibutuhkan.

Pernah suatu kali Rasul mendengar ada sahabatnya yang berniat untuk menjauhi dunia, “Aku akan berpuasa terus menerus tanpa berbuka, aku akan sholat semalam suntuk tanpa berhenti untuk tidur, aku akan melajang terus tanpa menikahi wanita.” Rasul yakin, tujuan mereka hanyalah satu, untuk semakin mendekatkan dirinya kepada Allah. Meskipun demikian, beliau menegur mereka, “Aku adalah sebaik-baik hamba Allah, tetapi aku puasa dan aku berbuka, aku sholat malam dan aku tidur, akupun menikahi wanita.” Demikian Rasulullah junjungan kita mencontohkan. Menikmati dunia sebagai tanda syukur, bukan antipati terhadapnya atau malah bertamak-tamak mengejarnya.