Belajar Cinta Dari Ali dan Fatimah

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.

Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.

Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!

Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.

Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.

Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.

Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan membelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..

Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.

Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.


Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?

Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”

”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.

Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,

“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”

Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.


Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,

dalam suatu riwayat dikisahkan

bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)

Fathimah berkata kepada ‘Ali,

“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”



~yang salah dari pacaran itu bukan perasaannya, melainkan jalan yang kita pilih, untuk mempertanggungjawabkan perasaan tsb lah, yang tidak bijak...~


:) semoga istiqomah, ini memang tidak mudah. :)


Baarakallaahufiikum....

Sedekah Si Kaya Semangat Si Miskin

Ironis terkadang, saat kita bisa tidur nyenyak di atas kasur empuk. Perut dipenuhi dengan berbagai jenis masakan lezat. Sedang, tak jauh dari rumah kita, seorang ibu tengah sibuk menidurkan anaknya yang menangis kelaparan. Suaminya tak kunjung pulang karena masih berkeliling menjajakan dangannya yang masih utuh belum laku satupun.

Malu diri kita bila membaca kembali kisah Khalifah Umar bin Khattab yang berkeliliing di malam hari. Memeriksa keadaan warganya satu persatu. Ternyata, ada satu rumah yang masih tampak kehidupan di dalamnya. Beberapa orang anak merengek- rengek kelaparan sedang ibunya sibuk mengaduk batu untuk mengelabuhi anak-anaknya, berharap mereka tenang dan tertidur meski dalam keadaan lapar. Terkejut bukan kepalang Umar melihat kondisi tersebut. Segera dia menuju Baitul Maal mengambil sekarung gandum. Dipikulnya sendiri karung tersebut. Satu hal yang berputar di kepalanya jangan sampai dia menzalimi rakyat negara yang di amanahkan kepadanya. Jangan sampai ada rakyatnya yang tidur dalam keadaan lapar sedangkan dia sendiri terpenuhi kebutuhannya.

Hal seperti ini pada zaman sekarang seakan sudah luput dari perhatian kita. Sikap peduli sesama. Hubungan yang harmonis antara si kaya dan si miskin. Semua hilang digantikan dengan keegoisan masing- masing. Prasangka- prasangka buruk telah menghiasi keseharian kita.

Si kaya membuang muka pada si miskin. Mengangapnya tak mau berusaha.Karenanya si miskin terkadang menjadi aproiri kepada orang kaya. Dia menolak dan merasa harga dirinya terinjak- injak bila harus menghadapi si kaya untuk meminjam sepeser uang guna memenuhi kebutuhan mereka yang mendesak. Tercipatalah anggapan lebih baik meregang nyawa kelaparan daripada harus menginjakkan kaki kerumah si kaya.

Atau fenomena lainnya, si miskin tak mau lagi berusaha dan memelas- melaskan dirinya agar dikasihani. Si kaya yang baik hati dan ikhlas membantu di manfaatkan, bahkan ada pihak- pihak yang menipunya di karenakan kebaikannya. Walhasil, bisa jadi kebaikan yang ada tadi berganti dengan rasa dengki. Kecewa karena i’tikad baiknya dimanfaatkan secara keliru.

Melihat beberapa kejadian diatas yang mungkin pernah kita alami, hati kita menjadi sangsi. Tak salah bila pemerintah pada bulan januari kemarin mengeluarkan peraturan yang akan menindak pengemis dan juga orang yang memberinya uang. ”Apa yang salah dengan syariat sedekah ?”,pertanyaan itu seakan menggantung di benak kita.

Yang salah bukan syariatnya. Tetapi subjek maupun objek yang melakukannya yang tidak memahami spirit sedekah dengan benar. Lihatlah betapa Rasulullah mengharagai orang- orang yang bersedekah. Begitu banyak nash- nash motivator untuk bersedekah. Dengan harapan orang- orang menjadi giat bersedekah. Sedekah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian mereka. Sebagaimana Abu Bakar yang mensedekahkan semua hartanya tanpa menyisakan sedikitpun, “Cukup Allah dan Rasul-Nya bagi keluargaku” demikian ujarnya ketika Rasulullah menanyakan perihal keluarganya. Sehingga orang yang keadaan ekonominya pas- pasan pun termotivasi untuk mesedekahan hartanya walaupun sedikit. Orang miskin berlomba- lomba dengan giat berusaha agar bisa mensisihkan hartanya untuk di sedekahkan. Begitu mulianya orang yang bersedekah.

Dalam lingkup suatu masyrakat, sebenarnya sedekah itu sendiri bisa menjadi program penstabilan kondisi ekonomi suatu masyarakat. Kesejahteraan sosial yang merata bisa terwujud bila program sedekah ini menjadi agenda yang tidak lepas dari keseharian setiap orang. Tidak ada lagi berita yang mengabarkan seorang nenek tua mati kelaparan di gubuknya, padahal tak jauh dari gubuknya sebuah perumahan mewah berdiri menjulang. Tidak ada lagi kisah tentang bayi yang dibuang orang tuanya di tempat pembuangan sampah, karena merasa tak sanggup lagi membiayai hidup. Yang kaya peduli dengan si miskin. Yang miskin merasa di perhatikan dan menghormati si kaya.

Sedekah memang ajaib. Sedekah memiliki berbagai macam faedah yang kadang tidak terpikirkan oleh kita. Jadi salah bila masih ada orang-orang yang berfikiran seperti di atas. Si kaya harus melapangkan hati untuk ikhlaskan sedikit hartanya disisihkan. Si miskin harus mawas diri dan berusaha supaya kelak dia menjadi si “tangan di atas”. Sedekah dengan spirit yang tepat menjadi solusi dari itu semua. Menghacurkan benteng yang memisahkan antara 2 golongan. Melembutkan hati si kaya dan menghilangkan prasangka si miskin. Mempebaiki kesenjangan sosial yang ada.

Kematian.. Kematian..

Mencoba mengais sedikit memori yang telah pecah berkeping. Ketika beberapa waktu yang lalu dirinya berkunjung ke papan tempat tinggalku. Seperti biasa, kelakarnya yang tak jua berubah, masih sama seperti tahun-tahun yang lalu.

Kedatangannya yang tidak terduga, “Hanya mampir selepas pejalanan ke desa seberang” demikian ujarnya. Kami yang mulanya tidak begitu akrab tiba-tiba berubah “pyuur” seakrab veteran perang yang berpuluh-puluh tahun berjuang bersama, lalu berjumpa kembali beberapa kurun setelahnya.

Yah, akhir hari itu aku tidak bisa memenuhi permintaanya. Mengantarnya ke pasar sandang, guna membeli secarik-dua carik kain. Aku meninggalkannya sambil berpesan, selamat jalan sahabat.. sodara.

Kemarin malam. Jum’at malam sabtu tepatnya. Dan sekarang hari ahad dini hari. Saat ku terjaga tiba-tiba. Melihat kolom chat yang saling berebutan tanpa ada tanggapan dari tuannya. Ah, tiba-tiba perasaanku menjadi kurang nyaman melihat kolom itu satu-persatu. Malam yang biasa-biasa saja, ternyata harus berakhir dengan sedikit perih terluka. Yah, memang ajal adalah sebaik-baik pengingat.

Dia, seorang pengajar di pondok pesantren sederhana. Meski tidak luput dari salah dan cela. Tapi Allah telah memilihnya. Mengakhiri kisah hidupnya dengan kondisi yang mulia.

Sedikit aku berkata-kata.. merangakai beberapa aksara.. mengingatkan diri kembali dengan maut yang datang tiba-tiba.. kemarin masih bersua dengan senyum khasnya.. malam ini tak terduga telah kembali ke haribaanNYA.. ah, sahabat.. sodara.. semoga ku bisa tetap istiqomah sepertinya..

Memoar untuk Fujail Robbani.. semoga Allah merahmatinya.. bersua berpisah merupakan kodrat yang selayaknya menjadi peringatan bagi kita, karena hidup tidaklah selamanya

Ketika Janji Seringan Kapas

Sebut saja Rika, si kecil yang belum genap berusia sepuluh tahun ini kerap merengek- rengek bila keinginannya tidak dipenuhi. Suatu saat dia ingin pulang kerumah ketika ibunya masih sibuk dengan ibu- ibu arisan lainnya, terang saja ibunya tak segera menanggapi permintaannya. Bisa ditebak, beberapa saat setelah itu tangisan menyayat andalan Rika pun membahana. Hanya butuh waktu sedetik untuk menarik perhatian setiap hadirin yang datang. Ternyata ibunya tak kalah pintar. Dihampirinya Rika, kemudian diiming- imingi dengan janji membelikan makanan kesukaannya. Terbayang sekotak coklat yang akan dinikmatinya, tangisnya pun berhenti.

Beberapa saat setelah acara arisan berakhir, Rika pulang bersama ibunya. Tertidurlah Rika sepanjang perjalanan pulang, kelelahan nampaknya dia setelah harinya dihabiskan bersama ibunya menghadiri acara yang menurutnya menjemukan. Selepas tidurnya, Rika celingukan mencari sekotak coklat yang ibunya janjikan. Tidak ada. Ternyata coklat yang dijanjikan belum di dapatinya. Segera dia menuju ke tempat ibunya berada dan mulai merengek- rengek. Terkagetlah dia, ternyata ibunya bukannya memenuhi janjinya tetapi malah balik memarahinya. “Anak kok malu- maluin saja. Tidak lihat apa ibu sedang sibuk arisan !!, sudah sana tidur, ndak bakal ibu belikan coklat !! jangan diulangi lagi !!.” bentak ibunya. Terperangah Rika mendengarnya. Hal ini bukan sekali- dua kali dia alami. Berulang kali terjadi hal yang sama, meski tak setiap waktu disertai bentakan dari ibunya.

Sebuah kisah fiksi singkat memulai pembahasan ini. Tanpa kita sadari, meski tidak sepersis itu terkadang kita sering melakukan hal semisal. Mulai dari janji untuk pulang tepat waktu kepada sang istri yang terlupa ketika sudah asyik berbincang dengan klien tentang pekerjaan. Atau janji membelikan oleh- oleh untuk si kecil sepulang dari bepergian jauh. Sekecil apapun bentuknya, yang kita katakan itu adalah janji.

Begitu mudahnya kita mengingkari janji yang kerap kali kita katakan, semudah itu pula kita mengumbar- umbar janji- janji manis. Kasus yang ada bisa diibaratkan seperti seorang pangeran yang sedang berjuang untuk menggaet pujaan hatinya. Sejuta bualan dia katakan untuk merebut perhatian sang pujaan hati dan memastikannya tertawan dalam pesona semu. Singkatnya analogi “Seorang pangeran yang berburu pujaan hati” ini bila di pandang melalui keumuman masalah maka bisa dimaknai, ketika seseorang sedang memburu tujannya maka tak jarang bualan- bualan itu dia ucapkan untuk mencapai citanya.

Itulah kebiasaan janjiholic yang mulai menjamur di kalangan kita. Mudah berjanji, mudah bersumpah. Bahkan, ada pula orang yang sampai pada tingkatan latah dalam mengucap janjinya. Malah terkadang dia sendiri tak sadar bahwa dirinya telah berjanji. Sedemikian murahnya janji pada masa kini.

Fenomena lucu yang kerap kita saksikan, kerap kali ada pungguk menjanjikan akan menghadirkan bulan di hadapan kita. Secara rasional, pungguk hanyalah perindu bulan yang tak mungkin bisa mendatangkannya, hal itu merupakan suatu kemustahilan yang tak perlu diragukan lagi. Tapi ini yang terjadi pada kita sekarang. Mempercayai janji orang yang bahkan membayangkan untuk memenuhi janjinya saja tidak sanggup, akan tetapi bermodal dengan manisnya lisan setiap orang pasti akan mengangguk percaya. Siapa yang salah ? pengumbar janji ataukah yang mempercayainya ?.

Implikasinya rasa kecewa adalah ekspresi pertama ketika ternyata janji itu hanya sekedar pemanis tanpa realisasi. Selanjutnya tumbuh rasa dengki dan dendam. Akan tetapi tak jarang pula ada yang kemudian ganti termakan janji manis yang lain, melupakan pengalaman pahit yang lalu. Seakan menjadi korban janji sudah menjadi hobi kita.

Adapula yang akhirnya menjadi janjiphobia, antipati kepada siapapun yang menjanjikan sesuatu hal kepadanya tanpa pandang bulu. Dia menjadi sangat jijik dengan setiap janji- janji. Seakan menyamaratakan setiap yang berjanji pasti tidak akan menepatinya. Janjinya hanyalah sebagai pemanis kata saja.

Bagaimanapun, janjiholic maupun janjiphobia sudah menjadi bagian dari hidup kita. Negatif. Pasti setiap orang yang masih bisa berpikir sehat akan berpendapat sama. Lalu bagaimana cara kita bisa menghindari dua kategori sifat negatif di atas ?

Hendaknya bagi para janjiholic sadar diri setiap akan mengumbar janjinya. Bisakah dia menepatinya ?. Ingat, janji adalah hutang. Setiap hutang wajib kita lunasi, atau minim kita harus meminta kehalalan kepada pihak yang kita beri janji supaya mengikhlaskannya. Seorang muslim yang mati syahid pun ditahan Allah di pintu Syruga dikarenakan hutangnya, menanti orang yang dihutangi tadi mengikhlaskannya. Lalu kira- kira bagaimana nasib para janjiholic bila dia tidak menepati janji- janjinya ?.

Teruntuk para janjiphobia, tak perlulah terlalu paranoid dengan janji- janji. Bagaimanapun hal itu tak bisa lepas dari kehidupan kita. Toh, di dunia ini tak semua orang berjiwa penipu, masih ada orang yang sangat menghargai janji- janji mereka. Paling tidak, sebelum mempercayai sebuah janji, kita bisa mempertimbangkan kapabilitas si pemberi janji. Akankah dia mampu melakukannya ?.

Status janji sebagai hutang menjadi pemacu kita untuk melakukannya, bukan hanya pemanis kata, bukan pula sekedar perangkap mangsa. Janji kelak akan dimintai pertanggung jawabannya, sekecil apapun bentuknya. Karenanya perhatikanlah lisan kita, jangan sampai dia menjerat kita di perhintungan amal di akherat sana.