Refleksi Malam Tirakat

Malam ini, 16 Agustus 2010 bertepatan dengan malam ke-7 Ramadhan 1431 H.Bagi warga negara Indonesia, esok hari merupakan hari peringatan kemerdekaannya dari tangan penjajah. Kita tidak sedang mendebatkan akan sudah belumnyakemerdekaan itu kita raih. Terlebih dari itu semua, malam ini terjadi pertentangan antara dua kubu. Warga negara Indonesia yang memiliki warna keislaman yang kental dan warga negara Indonesia yang biasa dikenal dengan Islam abangan.

Mereka berselisih pendapat, akankah malam ini dihabiskan dengan peringatan malam tirakat, yang biasanya didalangi oleh anak-anak muda dan diisi dentuman-dentumanmusik memperingati perjuangan para pejuang kemerdekaan dahulu yang berjibaku di antara dentuman-dentuman bom. Atau mengisinya dengan dengungan-dengungan tadarusan khas malam-malam Ramadhan yang biasa terdengar di masjid-masjid kampung.

Saya teringat kejadian dua pekan yang lalu. Hari Ahad di pagi hari menjelang Ramadhan. Ketika perjalanan pulang dari acara olahraga pagi, olahraga terakhir sebelum tiba bulan Ramadhan. Saya sempat terkagum-kagum,sepanjang perjalanan saya dapati masyarakat saling bahu membahu bekerja bakti membersihkan lingkungannya. Dalam hati saya berucap, "Subhanallah,masyarakat bekerja bakti membersihkan lingkungan demi menyambut bulan Ramadhan,apakah Allah telah menurunkan hidayah-Nya kepada semua orang?" keterkaguman itu berlanjut hingga hampir mendekati kampung saya.

Menjelang sampai ke kampung, saya melihat seorang bapak berjalan agak cepat sambil memanggul bambu-bambu yang sudah terikat bendera merah putih diujung-ujungnya. Serta merta saya terkesiap. Hilang sudah keterkaguman tadi. Akhrinya saya tersenyum satir, "Oh, iya inikan awal bulan Agustus, pantas saja merekamembersihkan lingkungan" batinku kembali.

Kemudian rasa miris mulai merayapi relung hati ini. Muncul sebuah pertanyaan sekaligus harapan di hati kecilku sebagai seorang Muslim, "Bilakah kiranya mereka bisa sesemangat itu dalam menyambut Ramadhan? Bilakah kiranya mereka bisa sesemangat ini dalam mengisi malam-malam Ramadhannya?"

Ingin rasanya, andaikan bisa, diri ini berkeluh kesah kepada Sultan Hassanudin sang Ayam Jago dari Timur. Kepada Pangeran Diponegoro sang Mujahid gua Selarong. Bagaimana kiranya perasaan mereka menyaksikan semua ini. Beliau yang berkorban jiwa, raga, bahkan tahta demi keterbebasan dari penjajah. Kini rakyat Indonesia malah mengorbankan jiwa,raga, harta dan tahtanya demi mengadakan acara-acara peringatan yang bahkan hampir tak berarti apapun kecuali hanya rutinitas belaka. Kontras. Dalam hayalan seakan diri ini mendengar Pangeran manggil-manggil untuk mengisi malam Ramadhan ini dengan amalan yang lebih bermanfaat daripada ritual tirakat.

Pendapat subjektif saya sebagai seorang Muslim yang kebetulan berkewarganegaraan Indonesia, turut bersyukur dengan malam tirakat yang jatuh bertepatan dengan awal-awal bulan Ramadhan ini. Paling tidak, acara yang sia-sia untuk memperingati kemerdekaan semu itu di gagalkan penyelenggaraannya di beberapa tempat berhubung dengan adanya tadarusan di masjid kampung. Dan saya optimis masih banyak warga negara Indonesia Muslim yang mampu berfikir kritis sekritis Pangeran Diponegoro, yang menyadari bahwa bagaimanapun nyamannya kehidupan kita sekarang. Kita masih terjajah. Terjajah secara tidak sadar oleh intervensi asing yang mencengkeram pemerintahan kita saat ini. Mereka tidak rela melepaskan negeri yang kaya potensi ini.

Terbayang perdebatan sengit antara Pangeran Diponegoro dan para tuan tanah yang sudah disumpal mulutnya dengan uang para penjajah. Perdebatan antara memperjuangkan harga diri dan menyembah dan mengabdikan diri di bawah para penindas. Sang Pangeran tetap berjuang. Meski kemenangan belum diraihnya. Tapi,semangatnya terus diwarisi oleh generasi-generasi penerusnya hingga membawa Indonesia sedikit demi sedikit ke arah kemerdekaan. Membungkam para penindas. Persis sepertiyang terjadi sekarang. Antara orang-orang yang sadar dan yang ter-nina bobo-kan oleh buaian tangan-tangan asing.

Atau mungkin ini bentuk balas dendam pihak asing atas gigihnya perjuangan pejuang Muslim pendahulu kita, sehingga kita bisa sedikit menghirup angin kebebasan saat ini. Mereka tidak ingin kejadian itu terulang. Dan masyarakat Indonesia bisa menghirup sepuasnya angin kemerdekaan mereka, melalui perjuangan pejuang-pejuang Muslim saat ini yang terpenjara dan tertindas sebagaimana nasib sang Pangeran. Tinggalah kita memilih sekarang, menjadi antek penindas atau pewaris semangat sang Pangeran?

Dikecoh yang Fana, Lupa Kuasa-Nya

Saya teringat ketika itu, ketika itu salah seorang saudara berkeluh kesah. Dia bercerita tentang sakit hatinya. Belum lama ini hidayah mulai menyentuh hatinya, dia berjilbab meski baru sekedar saja. Beberapa waktu yang lalu mbakyu dari ayahnya datang bertandang ke rumah. Dia datang bersama putrinya. Kebetulan mereka sebaya. Sama-sama sedang menanti wisuda, kelulusan jenjang S1.

Putri tantenya agak terkaget melihat dia berjilbab rapi sedang dia sendiri tidak berjilbab. Sambil lalu putri tantenya bertanya, “Ih, dek.. apa ga susah nyari kerja kalau jilbaban kayak gitu?” Dia tersentak, tak menduga ada saudaranya yang masih rasis terhadap orang berjilbab pada zaman seperti ini. Sembari menenagkan diri dia menjawabnya sambil tersenyum sebisanya, “Alhamdulillah, kemarin sudah dapet job malahan, rekanan kerjanya juga baik-baik dan sopan.”

Putri tantenya manggut-manggut sambil masih memandang sinis ke arahnya. Beberapa saat kemudian dia kembali bertanya, kali ini lebih menyakitkan, “Dek, misalkan, ada yang nawarin job dengan bayaran tinggi, tapi syaratnya, kamu harus lepas jilbab, kamu terima ga?” Saudaraku mendesah, menata hatinya, mencoba kuatkan imannya, diapun menjawab mantap, “Mbak, aku percaya Allahlah yang mengatur rezeki, insyaallah masih ada tempat lain yang mau menerima karyawan berjilbab.”

Mendegar jawaban saudaraku, dia tertawa sinis, “Kalau aku sih mending, ambil perkerjaannya dek” jawabnya enteng.

Subhanallah, seakan zaman berulang, mundur kebelakang. Muncul kembali ingatan tentang cerita-cerita suram masa lalu. Ketika jilbab belum populer, ketika orang berjilbab masih ditentang habis-habisan, ketika mereka yang berjilbab harus rela telinganya ditusuk kata-kata sinis. Bukan jilbabnya. Tapi, keyakinannya.
Kemudian saya teringat kisah lainnya.

Di siang yang panas, di tengah gurun padang pasir tergeletak seonggok tubuh hitam legam tertindih batu besar. Dadanya yang polos tidak tertutup selembar kainpun tergeletak di atas pasir yang membara. Jangankan telanjang, yang berpakaian lengkappun akan bersegera memasuki rumah-rumah mereka tak tahan akan panasnya suhu udara. Di sampingnya majikannya tak puas-puasnya melecutkan cemeti ke tubuhnya. Beberapa kali terlihat kerongkongannya yang kering dituangi madu. Semakin terbakar rasanya kerongkongan tadi, bertambah pula rasa hausnya. Akan tetapi, dia tidak mungkir, kalimat “Ahad.. ahad.. ahad” senantiasa terdengar di setiap kali bibirnya terbuka.

Kita semua pastilah sudah mengetahui potongan cerita di atas. Episode yang menceritakan perjuangan sahabat Nabi dalam mempertahankan keimanannya. Yang mengagumkan adalah di detik-detik paling kritis dalam hidupnya dia masih saja berucap “Ahad.. ahad” mengagungkan Allah dengan sifat-Nya. Mengapa dia tidak mencukupkan saja siksaannya dengan mengakui bahwa tuhan nenek moyang adalah benar? Mengapa dia tidak berkata pada majikan yang menyiksanya bahwa dia akan kembali kepada nenek moyangnya dan mendapatkan kebebasan? Dan mengapa di tengah keringnya kerongkongannya dia masih saja terus berucap Ahad.. ahad?

Pembaca yang budiman, Bilal bin Rabbah adalah seorang budak berkulit hitam. Rupanya kalah tampan bila dibanding bangsa Arab pada umumnya. Hartanya tidak seberapa. Dia bukanlah seorang saudagar kaya, hanya seorang budak yang di bebaskan dari tuannya. Meskipun demikian peristiwa ini membuktikan kekuatan imannya. Dia telah mengalami ujian keimanan yang berat dan berhasil lulus darinya.Dia menjadi pionir yang merelakan jiwa dan raganya hanya untuk Islam. Allah menjadikannya sebagai contoh yang mulia tanpa memandang rupa maupun hartanya.

Keyakinan akan kuasa Allah membuatnya bertahan dari siksaan yang demikian berat. Dia yakin, bila Allah menghendakinya hidup, maka akan datang seorang penolong yang diutus oleh Allah. Dan apabila takdirnya mati di jalan Allah, maka Allah mengganjarnya dengan balasan yang diimpi-impikan seluruh muslim yaitu Jannah. Keyakinannya selaras dengan sabda Nabi, "Bila kamu meminta maka mintalah kepada Allah. Dan bila kamu memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah" (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih) Inilah tanda kesempurnaan tauhid. Sebuah kepercayaan mutlak kepada Allah.

Demikianlah layaknya seorang muslim dalam meyakini akan kuasa Allah. Dia tidak lagi meragukan bagaimanakah nasibnya esok hari. Bagaimana masa depannya beberapa tahun mendatang. Bagaimana kelanjutan sekolah anak-anaknya. Berikhtiar kemudian tawakal. Dua hal inilah yang menjadi pedoman seorang muslim. Dia tahu bahwa seluruh hidupnya sudah tertulis dalam buku catatan takdir. Dia tidak rela bila harus menukarkan tauhid dengan secuil kenikmatan dunia. Apalagi harus membuangnya demi menggapai dunia yang fana. Celakalah dia dunia dan akherat.

Secara umum kisah yang disitir di awal menunjukkan bukti bahwa saat ini masih ada di antara kita –umat Muslim- yang kurang percaya dan masih meragukan kekuasaan Allah. Atau mungkin masih ada salah seorang dari pembaca yang memiliki sikap seperti itu? Semoga tidak.

Merenungi Hakekat Kehidupan

Ketika itu, masa dimana aku masih menuntut ilmu di sebuah padepokan asri. Di lembah hijau bertanah merah. Tempat dimana aku mendapat banyak ilmu, hakekat, dan kaidah. Tempat para guru membagi pengalaman dan keilmuan merata kepada seluruh muridnya. Tempat dimana aku belajar tentang hakekat kehidupan.

“Adakah dari kalian yang tahu, mengapa manusia diberi kehidupan?” tanya Sang Guru suatu saat. Kala itu aku masih bodoh dan tidak mengerti. Bahkan, teman-temanku yang pandaipun tidak ada yang tepat menjawabnya.

“Untuk beribadah” jawab temanku yang paling pandai. Sang Guru tersenyum sembari berucap, “Betul, tapi belum tepat.” Yang lainnya berusaha menyahut, “Menjadi Khalifah di Bumi”,”Menegakkan syari’at”,”Mendakwahkan Agama” dan masih banyak jawaban lainnya yang berbalas senyuman dan kalimat,”Betul, tapi belum tepat.”

Hingga akhirnya, setelah tak ada lagi yang berucap dan berusaha menjawab, Sang Guru berkata, “Suatu ketika Syaddad bin Aus Radhiyallahu ‘anhu seorang sahabat Rasulullah mendengarkan beliau berbicara tentang kehidupan, beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Orang yang cerdas adalah orang yang bisa menundukkan nafsu dirinya, dan mempersiapkan kematiannya.” Sampai disini Sang Guru tersenyum. Lalu salah seorang murid bertanya, ”Apa hubungannya dengan tujuan manusia diberi kehidupan, Guru?” Sang Guru kembali tersenyum, seraya bertanya, “Adakah diantara kalian yang ingin menjadi orang bodoh?” Kamipun saling tengok dan kesemuanya menggeleng.

“Muridku, hiduplah engkau menjadi orang yang cerdas, dan siapakah mereka itu, apakah ada yang sudah menghafalnya?” Salah seorang menjawab dengan cepat, “Orang yang bisa mengendalikan nafsu dirinya dan mempersiapkan kematian.” Sang guru mengangguk-angguk, masih tersenyum. Pelajaran kali itu berakhir. Aku sendiri masih bingung dengan apa yang dimaksudkan Sang Guru. Tak jauh berbeda dengan murid-murid lainnya.

Hari ini, sekitar sebulan yang lalu. Setelah sekian tahun aku menyelesaikan masa belajar di padepokan itu. Berbekal sedikit ilmu menghadapi tantangan zaman. Mengikis dan terkikis arus perputaran yang tak menentu. Pengalaman menjadi guru, mendidik memahami berbagai kaidah yang telah terhafal dahulu. Tibalah masanya memahami tentang hakekat kehidupan. Lagi-lagi pengalamanlah yang memahamkanku.

Memori hari itu, ketika kutanyakan tentang rencana lanjutannya tahun mendatang. Adik kelasku menjawab dengan jawaban klise khas pemuda, “Mencari pengalaman dahulu, kak.” Aku tersenyum satir. “Jatah waktu kita sedikit, amalan yang menuntut untuk dipenuhi amatlah banyak” pesanku kala itu kepada adik tingkatku. Dan keesokan harinya, tepat sehari setelah aku berpesan. Allah berkehendak untuk memanggilnya terlebih dahulu di usianya yang belum genap kepala dua. Ya, dia meninggalkan dunia ini, sebelum sempat merealisasikan impian-impiannya.

Pembaca yang budiman. Ajal adalah suatu ahwal yang pasti kita temui kelak. Momen wajib baik setiap makhluk bernyawa, yang menandai akhir dari kesempatan hidupnya. Beberapa potong kisah di atas menjadi awalan pembahasan tentang kehidupan. Penggalan pengalaman nyata yang membingungkan. Tetapi, bila kita mau menarik garis merah penghubung. Akan kita dapati sebuah pesan religius yang mencerahkan.

Sang Guru, melalui hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan Syaddad bin Aus mengajarkan kita bahwa tujuan hidup di dunia ini, untuk mati. Ya, kita hidup di dunia untuk dijemput kematian. Entah kematian itu datang cepat, atau kelak ketika usia kita sudah senja.

Pada dasarnya semua perbuatan yang kita lakukan di dunia ini, ibadah, bekerja, istirahat, maksiat, semua akan kita bawa sebagai bekal mempersiapkan kematian. Siapa yang memenuhi keranjang bekalnya dengan makanan, air dan benda bermanfaat lainnya, perjalannannya akan terbantu. Sedang, yang memenuhi keranjangnya dengan kerikil-kerikil, pasir dan bebatuan tak berguna, selain menyusahkan juga akan memberatkan perjalanannya kelak.

Hakekat dunia adalah ladang, tempat kita menanam, merawat, dan menjaga tanaman kita. Harapannya kelak ketika panen segalanya akan menjadi baik. Waktu memanen adalah ketika kita dihampiri kematian kemudian hari. Seluruh yang kita tanam akan kita bawa, entah apapun wujudnya. Sedangkan, kita sendiri tak tahu kapan datangnya waktu panen itu.

Kunci sukses dalam menanam bekal kehidupan ini adalah ikhlas. Ikhlaslah yang esok akan memuaskan kita pada masa panen setelah kematian. Meskipun demikian, tak sedikit pula orang-orang terpedaya dalam tipuan amal. Nampak olehnya telah melakukan amalan setinggi gunung. Seakan-akan ladangnya telah ditanami dengan tumbuhan yang menjanjikan di hari panen kelak. Tapi, karena ketidak ikhlasannya diapun terkaget sesaat setelah panen. Bekal yang dia bawa hanyalah kerikil dan batu tak berguna.

Tipuan itu bernama pamrih. Banyak diantara kita yang terbuai dengan iming-iming ketenaran dan strata, hingga salah memilih amalan yang akan ditanam di ladang dunia ini. Ada yang merasa tidak puas bila sedekahnya yang bernilai tinggi tidak diabadikan dalam jepretan kamera. Ada yang merasa, jasa-jasanya kurang afdhol bila tidak dimuat dalam kolom-kolom berita di koran.

Baik maupun tidaknya sesuatu tidaklah ditentukan dengan jumlah maupun nilai harganya. Pamrih yang menjadi landasan beramal akan menerbangkan tumpukan pahala yang ada, meski banyak jumlahnya, meski jasanya tak terukur dan terbalas.

Karunia kehidupan dan kesempatan menjejakkan langkah di dunia bertujuan untuk mempersiapkan kematian. Hanyalah orang cerdas yang menyadarinya dan menundukkan nafsu dirinya untuk menanam bekal berguna sebanyaknya. Pamrih termasuk pula dalam nafsu diri yang layaknya ditundukkan. Hingga akhirnya, kita tidak terkaget karena di hari panen tidak menemui sedikitpun hasil dari jerih payah kita di dunia. Mulailah menanam untuk hari kematian kelak, tundukkan nafsu diri dan tersenyumlah ketika di akherat berjumpa dengan istana syurga yang kita bangun dengan bata-bata keikhlasan amalan.