Merenungi Hakekat Kehidupan

Ketika itu, masa dimana aku masih menuntut ilmu di sebuah padepokan asri. Di lembah hijau bertanah merah. Tempat dimana aku mendapat banyak ilmu, hakekat, dan kaidah. Tempat para guru membagi pengalaman dan keilmuan merata kepada seluruh muridnya. Tempat dimana aku belajar tentang hakekat kehidupan.

“Adakah dari kalian yang tahu, mengapa manusia diberi kehidupan?” tanya Sang Guru suatu saat. Kala itu aku masih bodoh dan tidak mengerti. Bahkan, teman-temanku yang pandaipun tidak ada yang tepat menjawabnya.

“Untuk beribadah” jawab temanku yang paling pandai. Sang Guru tersenyum sembari berucap, “Betul, tapi belum tepat.” Yang lainnya berusaha menyahut, “Menjadi Khalifah di Bumi”,”Menegakkan syari’at”,”Mendakwahkan Agama” dan masih banyak jawaban lainnya yang berbalas senyuman dan kalimat,”Betul, tapi belum tepat.”

Hingga akhirnya, setelah tak ada lagi yang berucap dan berusaha menjawab, Sang Guru berkata, “Suatu ketika Syaddad bin Aus Radhiyallahu ‘anhu seorang sahabat Rasulullah mendengarkan beliau berbicara tentang kehidupan, beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Orang yang cerdas adalah orang yang bisa menundukkan nafsu dirinya, dan mempersiapkan kematiannya.” Sampai disini Sang Guru tersenyum. Lalu salah seorang murid bertanya, ”Apa hubungannya dengan tujuan manusia diberi kehidupan, Guru?” Sang Guru kembali tersenyum, seraya bertanya, “Adakah diantara kalian yang ingin menjadi orang bodoh?” Kamipun saling tengok dan kesemuanya menggeleng.

“Muridku, hiduplah engkau menjadi orang yang cerdas, dan siapakah mereka itu, apakah ada yang sudah menghafalnya?” Salah seorang menjawab dengan cepat, “Orang yang bisa mengendalikan nafsu dirinya dan mempersiapkan kematian.” Sang guru mengangguk-angguk, masih tersenyum. Pelajaran kali itu berakhir. Aku sendiri masih bingung dengan apa yang dimaksudkan Sang Guru. Tak jauh berbeda dengan murid-murid lainnya.

Hari ini, sekitar sebulan yang lalu. Setelah sekian tahun aku menyelesaikan masa belajar di padepokan itu. Berbekal sedikit ilmu menghadapi tantangan zaman. Mengikis dan terkikis arus perputaran yang tak menentu. Pengalaman menjadi guru, mendidik memahami berbagai kaidah yang telah terhafal dahulu. Tibalah masanya memahami tentang hakekat kehidupan. Lagi-lagi pengalamanlah yang memahamkanku.

Memori hari itu, ketika kutanyakan tentang rencana lanjutannya tahun mendatang. Adik kelasku menjawab dengan jawaban klise khas pemuda, “Mencari pengalaman dahulu, kak.” Aku tersenyum satir. “Jatah waktu kita sedikit, amalan yang menuntut untuk dipenuhi amatlah banyak” pesanku kala itu kepada adik tingkatku. Dan keesokan harinya, tepat sehari setelah aku berpesan. Allah berkehendak untuk memanggilnya terlebih dahulu di usianya yang belum genap kepala dua. Ya, dia meninggalkan dunia ini, sebelum sempat merealisasikan impian-impiannya.

Pembaca yang budiman. Ajal adalah suatu ahwal yang pasti kita temui kelak. Momen wajib baik setiap makhluk bernyawa, yang menandai akhir dari kesempatan hidupnya. Beberapa potong kisah di atas menjadi awalan pembahasan tentang kehidupan. Penggalan pengalaman nyata yang membingungkan. Tetapi, bila kita mau menarik garis merah penghubung. Akan kita dapati sebuah pesan religius yang mencerahkan.

Sang Guru, melalui hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan Syaddad bin Aus mengajarkan kita bahwa tujuan hidup di dunia ini, untuk mati. Ya, kita hidup di dunia untuk dijemput kematian. Entah kematian itu datang cepat, atau kelak ketika usia kita sudah senja.

Pada dasarnya semua perbuatan yang kita lakukan di dunia ini, ibadah, bekerja, istirahat, maksiat, semua akan kita bawa sebagai bekal mempersiapkan kematian. Siapa yang memenuhi keranjang bekalnya dengan makanan, air dan benda bermanfaat lainnya, perjalannannya akan terbantu. Sedang, yang memenuhi keranjangnya dengan kerikil-kerikil, pasir dan bebatuan tak berguna, selain menyusahkan juga akan memberatkan perjalanannya kelak.

Hakekat dunia adalah ladang, tempat kita menanam, merawat, dan menjaga tanaman kita. Harapannya kelak ketika panen segalanya akan menjadi baik. Waktu memanen adalah ketika kita dihampiri kematian kemudian hari. Seluruh yang kita tanam akan kita bawa, entah apapun wujudnya. Sedangkan, kita sendiri tak tahu kapan datangnya waktu panen itu.

Kunci sukses dalam menanam bekal kehidupan ini adalah ikhlas. Ikhlaslah yang esok akan memuaskan kita pada masa panen setelah kematian. Meskipun demikian, tak sedikit pula orang-orang terpedaya dalam tipuan amal. Nampak olehnya telah melakukan amalan setinggi gunung. Seakan-akan ladangnya telah ditanami dengan tumbuhan yang menjanjikan di hari panen kelak. Tapi, karena ketidak ikhlasannya diapun terkaget sesaat setelah panen. Bekal yang dia bawa hanyalah kerikil dan batu tak berguna.

Tipuan itu bernama pamrih. Banyak diantara kita yang terbuai dengan iming-iming ketenaran dan strata, hingga salah memilih amalan yang akan ditanam di ladang dunia ini. Ada yang merasa tidak puas bila sedekahnya yang bernilai tinggi tidak diabadikan dalam jepretan kamera. Ada yang merasa, jasa-jasanya kurang afdhol bila tidak dimuat dalam kolom-kolom berita di koran.

Baik maupun tidaknya sesuatu tidaklah ditentukan dengan jumlah maupun nilai harganya. Pamrih yang menjadi landasan beramal akan menerbangkan tumpukan pahala yang ada, meski banyak jumlahnya, meski jasanya tak terukur dan terbalas.

Karunia kehidupan dan kesempatan menjejakkan langkah di dunia bertujuan untuk mempersiapkan kematian. Hanyalah orang cerdas yang menyadarinya dan menundukkan nafsu dirinya untuk menanam bekal berguna sebanyaknya. Pamrih termasuk pula dalam nafsu diri yang layaknya ditundukkan. Hingga akhirnya, kita tidak terkaget karena di hari panen tidak menemui sedikitpun hasil dari jerih payah kita di dunia. Mulailah menanam untuk hari kematian kelak, tundukkan nafsu diri dan tersenyumlah ketika di akherat berjumpa dengan istana syurga yang kita bangun dengan bata-bata keikhlasan amalan.

0 komentar:

Posting Komentar