Dikecoh yang Fana, Lupa Kuasa-Nya

Saya teringat ketika itu, ketika itu salah seorang saudara berkeluh kesah. Dia bercerita tentang sakit hatinya. Belum lama ini hidayah mulai menyentuh hatinya, dia berjilbab meski baru sekedar saja. Beberapa waktu yang lalu mbakyu dari ayahnya datang bertandang ke rumah. Dia datang bersama putrinya. Kebetulan mereka sebaya. Sama-sama sedang menanti wisuda, kelulusan jenjang S1.

Putri tantenya agak terkaget melihat dia berjilbab rapi sedang dia sendiri tidak berjilbab. Sambil lalu putri tantenya bertanya, “Ih, dek.. apa ga susah nyari kerja kalau jilbaban kayak gitu?” Dia tersentak, tak menduga ada saudaranya yang masih rasis terhadap orang berjilbab pada zaman seperti ini. Sembari menenagkan diri dia menjawabnya sambil tersenyum sebisanya, “Alhamdulillah, kemarin sudah dapet job malahan, rekanan kerjanya juga baik-baik dan sopan.”

Putri tantenya manggut-manggut sambil masih memandang sinis ke arahnya. Beberapa saat kemudian dia kembali bertanya, kali ini lebih menyakitkan, “Dek, misalkan, ada yang nawarin job dengan bayaran tinggi, tapi syaratnya, kamu harus lepas jilbab, kamu terima ga?” Saudaraku mendesah, menata hatinya, mencoba kuatkan imannya, diapun menjawab mantap, “Mbak, aku percaya Allahlah yang mengatur rezeki, insyaallah masih ada tempat lain yang mau menerima karyawan berjilbab.”

Mendegar jawaban saudaraku, dia tertawa sinis, “Kalau aku sih mending, ambil perkerjaannya dek” jawabnya enteng.

Subhanallah, seakan zaman berulang, mundur kebelakang. Muncul kembali ingatan tentang cerita-cerita suram masa lalu. Ketika jilbab belum populer, ketika orang berjilbab masih ditentang habis-habisan, ketika mereka yang berjilbab harus rela telinganya ditusuk kata-kata sinis. Bukan jilbabnya. Tapi, keyakinannya.
Kemudian saya teringat kisah lainnya.

Di siang yang panas, di tengah gurun padang pasir tergeletak seonggok tubuh hitam legam tertindih batu besar. Dadanya yang polos tidak tertutup selembar kainpun tergeletak di atas pasir yang membara. Jangankan telanjang, yang berpakaian lengkappun akan bersegera memasuki rumah-rumah mereka tak tahan akan panasnya suhu udara. Di sampingnya majikannya tak puas-puasnya melecutkan cemeti ke tubuhnya. Beberapa kali terlihat kerongkongannya yang kering dituangi madu. Semakin terbakar rasanya kerongkongan tadi, bertambah pula rasa hausnya. Akan tetapi, dia tidak mungkir, kalimat “Ahad.. ahad.. ahad” senantiasa terdengar di setiap kali bibirnya terbuka.

Kita semua pastilah sudah mengetahui potongan cerita di atas. Episode yang menceritakan perjuangan sahabat Nabi dalam mempertahankan keimanannya. Yang mengagumkan adalah di detik-detik paling kritis dalam hidupnya dia masih saja berucap “Ahad.. ahad” mengagungkan Allah dengan sifat-Nya. Mengapa dia tidak mencukupkan saja siksaannya dengan mengakui bahwa tuhan nenek moyang adalah benar? Mengapa dia tidak berkata pada majikan yang menyiksanya bahwa dia akan kembali kepada nenek moyangnya dan mendapatkan kebebasan? Dan mengapa di tengah keringnya kerongkongannya dia masih saja terus berucap Ahad.. ahad?

Pembaca yang budiman, Bilal bin Rabbah adalah seorang budak berkulit hitam. Rupanya kalah tampan bila dibanding bangsa Arab pada umumnya. Hartanya tidak seberapa. Dia bukanlah seorang saudagar kaya, hanya seorang budak yang di bebaskan dari tuannya. Meskipun demikian peristiwa ini membuktikan kekuatan imannya. Dia telah mengalami ujian keimanan yang berat dan berhasil lulus darinya.Dia menjadi pionir yang merelakan jiwa dan raganya hanya untuk Islam. Allah menjadikannya sebagai contoh yang mulia tanpa memandang rupa maupun hartanya.

Keyakinan akan kuasa Allah membuatnya bertahan dari siksaan yang demikian berat. Dia yakin, bila Allah menghendakinya hidup, maka akan datang seorang penolong yang diutus oleh Allah. Dan apabila takdirnya mati di jalan Allah, maka Allah mengganjarnya dengan balasan yang diimpi-impikan seluruh muslim yaitu Jannah. Keyakinannya selaras dengan sabda Nabi, "Bila kamu meminta maka mintalah kepada Allah. Dan bila kamu memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah" (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih) Inilah tanda kesempurnaan tauhid. Sebuah kepercayaan mutlak kepada Allah.

Demikianlah layaknya seorang muslim dalam meyakini akan kuasa Allah. Dia tidak lagi meragukan bagaimanakah nasibnya esok hari. Bagaimana masa depannya beberapa tahun mendatang. Bagaimana kelanjutan sekolah anak-anaknya. Berikhtiar kemudian tawakal. Dua hal inilah yang menjadi pedoman seorang muslim. Dia tahu bahwa seluruh hidupnya sudah tertulis dalam buku catatan takdir. Dia tidak rela bila harus menukarkan tauhid dengan secuil kenikmatan dunia. Apalagi harus membuangnya demi menggapai dunia yang fana. Celakalah dia dunia dan akherat.

Secara umum kisah yang disitir di awal menunjukkan bukti bahwa saat ini masih ada di antara kita –umat Muslim- yang kurang percaya dan masih meragukan kekuasaan Allah. Atau mungkin masih ada salah seorang dari pembaca yang memiliki sikap seperti itu? Semoga tidak.

0 komentar:

Posting Komentar