Ketika Hati Rindu Ramadhan


Ramadhan telah lewat, akan tetapi euforia-nya masih terasa lekat dalam ingatan. Riuh rendah suara tilawah yang berdengung di masjid-masjid. Penuh sesaknya para jama’ah lima waktu sholat. Senyum ceria anak-anak kecil berangkat belajar mengaji di sore hari. Berduyun-duyunnya bapak-bapak dan ibu-ibu menuju pengajian-pengajian menjelang buka puasa. Lantangnya suara mubaligh menyampaikan pesan ilahi menjelang tarawih. Meski semua tak lepas dari kekurangan, minimal suasana seperti itulah yang memberi sensasi sejuk bagi sisi ruhaniyah di hati.

Ramadhan telah lewat, dan barokahnya selalu dirindui. Barokah yang memunculkan kemudahan dalam beribadah. Memburu pahala menjadi candu hingga tiada rasa jemu melakukannya. Menyeru orang kepada kebaikan menjadi tren. Intinya setiap keinginan untuk berbuat baik disambut baik oleh suasana yang tercipta. Terwujudlah kondisi yang amat kondusif untuk tawashou bil haq.

Menilik sudut pandang berbeda bagi setiap orang. Mungkin ada sisi-sisi lain yang berkesan bagi kita selama Ramadhan yang lalu. Tentunya tak bisa untuk disebutkan satu persatu di sini. Yang akhirnya hal tersebut membuat kita tanpa sadar ingin merengek-rengek agar segera menjumpai Ramadhan kembali. Rindu akan Ramadhan senantiasa bergelora di hati kita.

Antara ukhrowi dan duniawi

Sebagaimana telah maklum bagi kita semua, dunia dijadikan medan pengujian. Ada yang lolos, ada pula yang gagal. Pilihannya berupa orientasi hidup. Terpancang pada dunia saja, atau jauh hingga akherat kelak. Ujiann dunia ini hijau menarik di mata. Walhasil, tak sedikit dari hambanya yang tumbang ketika merentasi ujian tersebut.

Dalam sebuah riwayat oleh Bukhori dan Muslim, Anas bin Malik, seorang pemuda yang selalu menyertai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bercerita, bahwa Rasulullah pernah bersabda, "Ada tiga hal yang mengikuti mengikuti mayat ketika di bawa ke kubur, yaitu keluarganya, hartanya dan amalnya. Yang dua kembali dan satu tetap tinggal menyertainya. Keluarga dan hartanya kembali sedang amalnya tetap mengikutinya.”

Sebuah ingatan dari Rasulullah untuk umatnya. Bahwa yang kekal adalah amalan. Sedangkan harta dan keluarga tak mungkin akan menemaninya hingga ke alam sana. Meski demikian, banyak yang gagal memprioritaskan antara 3 hal yang akan menyertainya kelak menuju kehidupan selanjutnya. Demikian juga dalam menyikapi kerinduannya pada bulan Ramadhan. Ada beberapa pihak yang merindukan Ramadhan karena sebab lain.

Sudah menjadi maklum bagi kita, barokah Ramadhan tak terbatas hanya pada barokah ukhrowi saja. Barokah duniawipun tak kalah banyaknya. Tanyalah pada para penjaja makanan. Sehari berjualan keliling di hari biasa, terkalahkan hasilnya dengan hanya beberapa jam berjualan menjelang dan setelah berbuka puasa. Pedagang kain pun bersyukur dengan datangnya Ramadhan. Setiap hari tanpa putus orderan selalu didapat. Berbanding lurus dengan nasib mujur sang Penjahit. Animo orang-orang akan baju baru menjadi keuntungan tersendiri baginya. Dan masih banyak golongan lain yang diuntungkan adanya barokah duniawi tersebut.

Sayangnya, bagi sebagian orang barokah duniawi ini merubah orientasi tujuan kerinduannya akan Ramadhan. Alih-alih merindukan suasana ibadah di bulan Ramadhan, mereka pun merindukan keuntungan duniawi yang bak mendapat durian runtuh. Bahkan, terkesan mereka lebih merindukan faktor kedua daripada yang pertama.

Ibarat pedagang jas hujan yang amat bersyukur ketika musim kemarau berakhir. Ada pihak yang mengharapkan datangnya Ramadhan kembali hanya karena barokah duniawinya saja. Tak lebih.

Miris, ironis, dan menyedihkan jika ternyata kerinduan Ramadhan itu sampai hanya dimaknai serendah itu. Kerinduan akan barokah ukhrowi hilang sirna, tergantikan harapan-harapan duniawi semata. Semoga kita terjauhkan dari itu semua.

Ramadhan dirindui karena suasana khasnya. Karena rahmat-rahmat Allah di dalamnya. Ramadhan adalah bulan yang Allah spesialkan sebagai titik awal perubahan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, atau paling tidak menjadi pemantik bagi semangat ruhiyah yang lesu. Karena itulah kita selalu merindukan Ramadhan.

Ramadhan Sepanjang Masa

Masih seputar rindu Ramadhan, saking rindunya sempat pula terlintas di benak saya, “Ah, alangkah enaknya jika setahun penuh setiap bulannya adalah bulan Ramadhan.” Mengapa Allah tak menciptakan demikian saja? Dan manusia akan berlomba-lomba untuk mengingat-Nya. Manusia tak akan memiliki kecenderungan untuk mengarah kepada perbuatan buruk. Dan hidup akan menjadi lebih tentram.

Tak lama, saya tersadar dan beristighfar telah menghayal yang tidak-tidak. Teringatlah saya tentang kecenderungan sifat manusia. Meski tidak bisa dipukul rata, akan tetapi mayoritas demikian. Manusia cenderung akan terbiasa dan menjadi bosan dengan aktifitas yang sama dan monoton. Kecuali mereka yang dirahmati Allah.

Subhanallah, bisa jadi kalau Allah menjadikan setiap bulan dalam setahun seperti bulan Ramadhan, rasa rindu kita akan bulan tersebut akan hilang digantikan rasa bosan. Belum lagi suasana khas yang biasanya ada akan pudar karena sudah terbiasa. Sungguh, ternyata Allah menciptakan segalanya bukanlah sia-sia belaka. Selalu ada hikmah dibaliknya.

Akhirnya, cukuplah rasa rindu itu menjadi penyemangat kita untuk senantiasa mengharap kehadiran Ramadhan. Harap-harap cemas dengan tiada putus-putus menjaga ibadah-ibadah yang kita rutini di bulan itu sepanjang tahun. Mencoba untuk menanamkan rasa khawatir di dalam hati kita. Jikalau tahun depan tak bisa lagi jumpa, minimal kita sudah mempertahankan eksistensi Ramadhan Sepanjang Masa semampu kita. Allah yang akan menghargai keistiqomahan dan harap rindu kita, meski tak bisa lagi menemuinya.

Refleksi Malam Tirakat

Malam ini, 16 Agustus 2010 bertepatan dengan malam ke-7 Ramadhan 1431 H.Bagi warga negara Indonesia, esok hari merupakan hari peringatan kemerdekaannya dari tangan penjajah. Kita tidak sedang mendebatkan akan sudah belumnyakemerdekaan itu kita raih. Terlebih dari itu semua, malam ini terjadi pertentangan antara dua kubu. Warga negara Indonesia yang memiliki warna keislaman yang kental dan warga negara Indonesia yang biasa dikenal dengan Islam abangan.

Mereka berselisih pendapat, akankah malam ini dihabiskan dengan peringatan malam tirakat, yang biasanya didalangi oleh anak-anak muda dan diisi dentuman-dentumanmusik memperingati perjuangan para pejuang kemerdekaan dahulu yang berjibaku di antara dentuman-dentuman bom. Atau mengisinya dengan dengungan-dengungan tadarusan khas malam-malam Ramadhan yang biasa terdengar di masjid-masjid kampung.

Saya teringat kejadian dua pekan yang lalu. Hari Ahad di pagi hari menjelang Ramadhan. Ketika perjalanan pulang dari acara olahraga pagi, olahraga terakhir sebelum tiba bulan Ramadhan. Saya sempat terkagum-kagum,sepanjang perjalanan saya dapati masyarakat saling bahu membahu bekerja bakti membersihkan lingkungannya. Dalam hati saya berucap, "Subhanallah,masyarakat bekerja bakti membersihkan lingkungan demi menyambut bulan Ramadhan,apakah Allah telah menurunkan hidayah-Nya kepada semua orang?" keterkaguman itu berlanjut hingga hampir mendekati kampung saya.

Menjelang sampai ke kampung, saya melihat seorang bapak berjalan agak cepat sambil memanggul bambu-bambu yang sudah terikat bendera merah putih diujung-ujungnya. Serta merta saya terkesiap. Hilang sudah keterkaguman tadi. Akhrinya saya tersenyum satir, "Oh, iya inikan awal bulan Agustus, pantas saja merekamembersihkan lingkungan" batinku kembali.

Kemudian rasa miris mulai merayapi relung hati ini. Muncul sebuah pertanyaan sekaligus harapan di hati kecilku sebagai seorang Muslim, "Bilakah kiranya mereka bisa sesemangat itu dalam menyambut Ramadhan? Bilakah kiranya mereka bisa sesemangat ini dalam mengisi malam-malam Ramadhannya?"

Ingin rasanya, andaikan bisa, diri ini berkeluh kesah kepada Sultan Hassanudin sang Ayam Jago dari Timur. Kepada Pangeran Diponegoro sang Mujahid gua Selarong. Bagaimana kiranya perasaan mereka menyaksikan semua ini. Beliau yang berkorban jiwa, raga, bahkan tahta demi keterbebasan dari penjajah. Kini rakyat Indonesia malah mengorbankan jiwa,raga, harta dan tahtanya demi mengadakan acara-acara peringatan yang bahkan hampir tak berarti apapun kecuali hanya rutinitas belaka. Kontras. Dalam hayalan seakan diri ini mendengar Pangeran manggil-manggil untuk mengisi malam Ramadhan ini dengan amalan yang lebih bermanfaat daripada ritual tirakat.

Pendapat subjektif saya sebagai seorang Muslim yang kebetulan berkewarganegaraan Indonesia, turut bersyukur dengan malam tirakat yang jatuh bertepatan dengan awal-awal bulan Ramadhan ini. Paling tidak, acara yang sia-sia untuk memperingati kemerdekaan semu itu di gagalkan penyelenggaraannya di beberapa tempat berhubung dengan adanya tadarusan di masjid kampung. Dan saya optimis masih banyak warga negara Indonesia Muslim yang mampu berfikir kritis sekritis Pangeran Diponegoro, yang menyadari bahwa bagaimanapun nyamannya kehidupan kita sekarang. Kita masih terjajah. Terjajah secara tidak sadar oleh intervensi asing yang mencengkeram pemerintahan kita saat ini. Mereka tidak rela melepaskan negeri yang kaya potensi ini.

Terbayang perdebatan sengit antara Pangeran Diponegoro dan para tuan tanah yang sudah disumpal mulutnya dengan uang para penjajah. Perdebatan antara memperjuangkan harga diri dan menyembah dan mengabdikan diri di bawah para penindas. Sang Pangeran tetap berjuang. Meski kemenangan belum diraihnya. Tapi,semangatnya terus diwarisi oleh generasi-generasi penerusnya hingga membawa Indonesia sedikit demi sedikit ke arah kemerdekaan. Membungkam para penindas. Persis sepertiyang terjadi sekarang. Antara orang-orang yang sadar dan yang ter-nina bobo-kan oleh buaian tangan-tangan asing.

Atau mungkin ini bentuk balas dendam pihak asing atas gigihnya perjuangan pejuang Muslim pendahulu kita, sehingga kita bisa sedikit menghirup angin kebebasan saat ini. Mereka tidak ingin kejadian itu terulang. Dan masyarakat Indonesia bisa menghirup sepuasnya angin kemerdekaan mereka, melalui perjuangan pejuang-pejuang Muslim saat ini yang terpenjara dan tertindas sebagaimana nasib sang Pangeran. Tinggalah kita memilih sekarang, menjadi antek penindas atau pewaris semangat sang Pangeran?

Dikecoh yang Fana, Lupa Kuasa-Nya

Saya teringat ketika itu, ketika itu salah seorang saudara berkeluh kesah. Dia bercerita tentang sakit hatinya. Belum lama ini hidayah mulai menyentuh hatinya, dia berjilbab meski baru sekedar saja. Beberapa waktu yang lalu mbakyu dari ayahnya datang bertandang ke rumah. Dia datang bersama putrinya. Kebetulan mereka sebaya. Sama-sama sedang menanti wisuda, kelulusan jenjang S1.

Putri tantenya agak terkaget melihat dia berjilbab rapi sedang dia sendiri tidak berjilbab. Sambil lalu putri tantenya bertanya, “Ih, dek.. apa ga susah nyari kerja kalau jilbaban kayak gitu?” Dia tersentak, tak menduga ada saudaranya yang masih rasis terhadap orang berjilbab pada zaman seperti ini. Sembari menenagkan diri dia menjawabnya sambil tersenyum sebisanya, “Alhamdulillah, kemarin sudah dapet job malahan, rekanan kerjanya juga baik-baik dan sopan.”

Putri tantenya manggut-manggut sambil masih memandang sinis ke arahnya. Beberapa saat kemudian dia kembali bertanya, kali ini lebih menyakitkan, “Dek, misalkan, ada yang nawarin job dengan bayaran tinggi, tapi syaratnya, kamu harus lepas jilbab, kamu terima ga?” Saudaraku mendesah, menata hatinya, mencoba kuatkan imannya, diapun menjawab mantap, “Mbak, aku percaya Allahlah yang mengatur rezeki, insyaallah masih ada tempat lain yang mau menerima karyawan berjilbab.”

Mendegar jawaban saudaraku, dia tertawa sinis, “Kalau aku sih mending, ambil perkerjaannya dek” jawabnya enteng.

Subhanallah, seakan zaman berulang, mundur kebelakang. Muncul kembali ingatan tentang cerita-cerita suram masa lalu. Ketika jilbab belum populer, ketika orang berjilbab masih ditentang habis-habisan, ketika mereka yang berjilbab harus rela telinganya ditusuk kata-kata sinis. Bukan jilbabnya. Tapi, keyakinannya.
Kemudian saya teringat kisah lainnya.

Di siang yang panas, di tengah gurun padang pasir tergeletak seonggok tubuh hitam legam tertindih batu besar. Dadanya yang polos tidak tertutup selembar kainpun tergeletak di atas pasir yang membara. Jangankan telanjang, yang berpakaian lengkappun akan bersegera memasuki rumah-rumah mereka tak tahan akan panasnya suhu udara. Di sampingnya majikannya tak puas-puasnya melecutkan cemeti ke tubuhnya. Beberapa kali terlihat kerongkongannya yang kering dituangi madu. Semakin terbakar rasanya kerongkongan tadi, bertambah pula rasa hausnya. Akan tetapi, dia tidak mungkir, kalimat “Ahad.. ahad.. ahad” senantiasa terdengar di setiap kali bibirnya terbuka.

Kita semua pastilah sudah mengetahui potongan cerita di atas. Episode yang menceritakan perjuangan sahabat Nabi dalam mempertahankan keimanannya. Yang mengagumkan adalah di detik-detik paling kritis dalam hidupnya dia masih saja berucap “Ahad.. ahad” mengagungkan Allah dengan sifat-Nya. Mengapa dia tidak mencukupkan saja siksaannya dengan mengakui bahwa tuhan nenek moyang adalah benar? Mengapa dia tidak berkata pada majikan yang menyiksanya bahwa dia akan kembali kepada nenek moyangnya dan mendapatkan kebebasan? Dan mengapa di tengah keringnya kerongkongannya dia masih saja terus berucap Ahad.. ahad?

Pembaca yang budiman, Bilal bin Rabbah adalah seorang budak berkulit hitam. Rupanya kalah tampan bila dibanding bangsa Arab pada umumnya. Hartanya tidak seberapa. Dia bukanlah seorang saudagar kaya, hanya seorang budak yang di bebaskan dari tuannya. Meskipun demikian peristiwa ini membuktikan kekuatan imannya. Dia telah mengalami ujian keimanan yang berat dan berhasil lulus darinya.Dia menjadi pionir yang merelakan jiwa dan raganya hanya untuk Islam. Allah menjadikannya sebagai contoh yang mulia tanpa memandang rupa maupun hartanya.

Keyakinan akan kuasa Allah membuatnya bertahan dari siksaan yang demikian berat. Dia yakin, bila Allah menghendakinya hidup, maka akan datang seorang penolong yang diutus oleh Allah. Dan apabila takdirnya mati di jalan Allah, maka Allah mengganjarnya dengan balasan yang diimpi-impikan seluruh muslim yaitu Jannah. Keyakinannya selaras dengan sabda Nabi, "Bila kamu meminta maka mintalah kepada Allah. Dan bila kamu memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah" (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih) Inilah tanda kesempurnaan tauhid. Sebuah kepercayaan mutlak kepada Allah.

Demikianlah layaknya seorang muslim dalam meyakini akan kuasa Allah. Dia tidak lagi meragukan bagaimanakah nasibnya esok hari. Bagaimana masa depannya beberapa tahun mendatang. Bagaimana kelanjutan sekolah anak-anaknya. Berikhtiar kemudian tawakal. Dua hal inilah yang menjadi pedoman seorang muslim. Dia tahu bahwa seluruh hidupnya sudah tertulis dalam buku catatan takdir. Dia tidak rela bila harus menukarkan tauhid dengan secuil kenikmatan dunia. Apalagi harus membuangnya demi menggapai dunia yang fana. Celakalah dia dunia dan akherat.

Secara umum kisah yang disitir di awal menunjukkan bukti bahwa saat ini masih ada di antara kita –umat Muslim- yang kurang percaya dan masih meragukan kekuasaan Allah. Atau mungkin masih ada salah seorang dari pembaca yang memiliki sikap seperti itu? Semoga tidak.

Merenungi Hakekat Kehidupan

Ketika itu, masa dimana aku masih menuntut ilmu di sebuah padepokan asri. Di lembah hijau bertanah merah. Tempat dimana aku mendapat banyak ilmu, hakekat, dan kaidah. Tempat para guru membagi pengalaman dan keilmuan merata kepada seluruh muridnya. Tempat dimana aku belajar tentang hakekat kehidupan.

“Adakah dari kalian yang tahu, mengapa manusia diberi kehidupan?” tanya Sang Guru suatu saat. Kala itu aku masih bodoh dan tidak mengerti. Bahkan, teman-temanku yang pandaipun tidak ada yang tepat menjawabnya.

“Untuk beribadah” jawab temanku yang paling pandai. Sang Guru tersenyum sembari berucap, “Betul, tapi belum tepat.” Yang lainnya berusaha menyahut, “Menjadi Khalifah di Bumi”,”Menegakkan syari’at”,”Mendakwahkan Agama” dan masih banyak jawaban lainnya yang berbalas senyuman dan kalimat,”Betul, tapi belum tepat.”

Hingga akhirnya, setelah tak ada lagi yang berucap dan berusaha menjawab, Sang Guru berkata, “Suatu ketika Syaddad bin Aus Radhiyallahu ‘anhu seorang sahabat Rasulullah mendengarkan beliau berbicara tentang kehidupan, beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Orang yang cerdas adalah orang yang bisa menundukkan nafsu dirinya, dan mempersiapkan kematiannya.” Sampai disini Sang Guru tersenyum. Lalu salah seorang murid bertanya, ”Apa hubungannya dengan tujuan manusia diberi kehidupan, Guru?” Sang Guru kembali tersenyum, seraya bertanya, “Adakah diantara kalian yang ingin menjadi orang bodoh?” Kamipun saling tengok dan kesemuanya menggeleng.

“Muridku, hiduplah engkau menjadi orang yang cerdas, dan siapakah mereka itu, apakah ada yang sudah menghafalnya?” Salah seorang menjawab dengan cepat, “Orang yang bisa mengendalikan nafsu dirinya dan mempersiapkan kematian.” Sang guru mengangguk-angguk, masih tersenyum. Pelajaran kali itu berakhir. Aku sendiri masih bingung dengan apa yang dimaksudkan Sang Guru. Tak jauh berbeda dengan murid-murid lainnya.

Hari ini, sekitar sebulan yang lalu. Setelah sekian tahun aku menyelesaikan masa belajar di padepokan itu. Berbekal sedikit ilmu menghadapi tantangan zaman. Mengikis dan terkikis arus perputaran yang tak menentu. Pengalaman menjadi guru, mendidik memahami berbagai kaidah yang telah terhafal dahulu. Tibalah masanya memahami tentang hakekat kehidupan. Lagi-lagi pengalamanlah yang memahamkanku.

Memori hari itu, ketika kutanyakan tentang rencana lanjutannya tahun mendatang. Adik kelasku menjawab dengan jawaban klise khas pemuda, “Mencari pengalaman dahulu, kak.” Aku tersenyum satir. “Jatah waktu kita sedikit, amalan yang menuntut untuk dipenuhi amatlah banyak” pesanku kala itu kepada adik tingkatku. Dan keesokan harinya, tepat sehari setelah aku berpesan. Allah berkehendak untuk memanggilnya terlebih dahulu di usianya yang belum genap kepala dua. Ya, dia meninggalkan dunia ini, sebelum sempat merealisasikan impian-impiannya.

Pembaca yang budiman. Ajal adalah suatu ahwal yang pasti kita temui kelak. Momen wajib baik setiap makhluk bernyawa, yang menandai akhir dari kesempatan hidupnya. Beberapa potong kisah di atas menjadi awalan pembahasan tentang kehidupan. Penggalan pengalaman nyata yang membingungkan. Tetapi, bila kita mau menarik garis merah penghubung. Akan kita dapati sebuah pesan religius yang mencerahkan.

Sang Guru, melalui hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan Syaddad bin Aus mengajarkan kita bahwa tujuan hidup di dunia ini, untuk mati. Ya, kita hidup di dunia untuk dijemput kematian. Entah kematian itu datang cepat, atau kelak ketika usia kita sudah senja.

Pada dasarnya semua perbuatan yang kita lakukan di dunia ini, ibadah, bekerja, istirahat, maksiat, semua akan kita bawa sebagai bekal mempersiapkan kematian. Siapa yang memenuhi keranjang bekalnya dengan makanan, air dan benda bermanfaat lainnya, perjalannannya akan terbantu. Sedang, yang memenuhi keranjangnya dengan kerikil-kerikil, pasir dan bebatuan tak berguna, selain menyusahkan juga akan memberatkan perjalanannya kelak.

Hakekat dunia adalah ladang, tempat kita menanam, merawat, dan menjaga tanaman kita. Harapannya kelak ketika panen segalanya akan menjadi baik. Waktu memanen adalah ketika kita dihampiri kematian kemudian hari. Seluruh yang kita tanam akan kita bawa, entah apapun wujudnya. Sedangkan, kita sendiri tak tahu kapan datangnya waktu panen itu.

Kunci sukses dalam menanam bekal kehidupan ini adalah ikhlas. Ikhlaslah yang esok akan memuaskan kita pada masa panen setelah kematian. Meskipun demikian, tak sedikit pula orang-orang terpedaya dalam tipuan amal. Nampak olehnya telah melakukan amalan setinggi gunung. Seakan-akan ladangnya telah ditanami dengan tumbuhan yang menjanjikan di hari panen kelak. Tapi, karena ketidak ikhlasannya diapun terkaget sesaat setelah panen. Bekal yang dia bawa hanyalah kerikil dan batu tak berguna.

Tipuan itu bernama pamrih. Banyak diantara kita yang terbuai dengan iming-iming ketenaran dan strata, hingga salah memilih amalan yang akan ditanam di ladang dunia ini. Ada yang merasa tidak puas bila sedekahnya yang bernilai tinggi tidak diabadikan dalam jepretan kamera. Ada yang merasa, jasa-jasanya kurang afdhol bila tidak dimuat dalam kolom-kolom berita di koran.

Baik maupun tidaknya sesuatu tidaklah ditentukan dengan jumlah maupun nilai harganya. Pamrih yang menjadi landasan beramal akan menerbangkan tumpukan pahala yang ada, meski banyak jumlahnya, meski jasanya tak terukur dan terbalas.

Karunia kehidupan dan kesempatan menjejakkan langkah di dunia bertujuan untuk mempersiapkan kematian. Hanyalah orang cerdas yang menyadarinya dan menundukkan nafsu dirinya untuk menanam bekal berguna sebanyaknya. Pamrih termasuk pula dalam nafsu diri yang layaknya ditundukkan. Hingga akhirnya, kita tidak terkaget karena di hari panen tidak menemui sedikitpun hasil dari jerih payah kita di dunia. Mulailah menanam untuk hari kematian kelak, tundukkan nafsu diri dan tersenyumlah ketika di akherat berjumpa dengan istana syurga yang kita bangun dengan bata-bata keikhlasan amalan.

Mengecap Manisnya Dunia, Bolehkah?

Dunia ini Allah ciptakan dengan keindahan sedemikian rupa, karena sifat kasih sayang kepada para hamba-NYa. Cobalah sesekali berkunjung ke tempat-tempat wisata. Tidak salah bila kita duduk termenung merenungi ciptaan Allah seperti air terjun, hutan lindung, danau, atau panorama pantai ketika matahari sudah mencapai ufuk barat. Di tempat-tempat itu kita akan dirayapi sebuah perasaan takjub, keindahan yang terkadang sering luput dari perhatian kita.

Suatu ketika Nabi Sulaiman sedang asyik merawat kuda bersayap miliknya. Kuda-kuda itu merupakan tunggangan kesayangan beliau karena kecepatannya yang luarbiasa. Saking sayangnya beliau tidak menyerahkan perawatannya kepada bawahannya. Hingga waktu beribadah menjelang beliau masih asyik dengan kuda-kuda tersebut. Kuda-kudanya melupakannya dari kewajibannya menyembah kepada Allah. Ketika selesai, beliau baru menyadari bahwa waktu beribadah telah lewat. Dengan penuh rasa penyesalan beliau menangis tersedu-sedu. Memohon ampun kepada Allah akan kelalaiannya dari memenuhi hak Allah untuk diibadahi.

Serta merta beliau menuju kandang kuda-kuda bersayap kesayangannya. Meski cintanya demikian besar terhadap kuda-kuda tersebut, namun rasa penyesalannya lebih menggunung. Disembelihnya kuda-kudanya sebagai tebusan akan kelalaiannya dari ibadah. Beliau yakin cinta pada Allah lebih berharga dari cinta pada dunia yang hina.

Kisah tentang Nabi Sulaiman ini meski berasal dari kisah Isro’iliyat, dan masih diragukan keshohihannya, akan tetapi paling tidak bisa memberi kita gambaran tentang dahsyatnya godaan dunia. Jarang sekali manusia yang bisa luput dari godaannya. Karena memang Allah ciptakan dunia ini sebagai kenikmatan yang menipu.

Obsesi dan ambisi. Dua istilah ini yang tidak jarang menjadi sarana penipuan bila salah penempatannya. Ketika kita mulai terobsesi akan sesuatu yang benilai duniawi kita terlupa akan posisi kita sebagai seorang hamba. Saat ambisi akan suatu tujuan muncul, terkadang kita lupa untuk memenuhi hak-hak Allah sebagai Dzat yang menciptakan kita.

Namun, adapula sekelompok manusia yang gamang dalam menyikapi dunia. Dia benar-benar berusaha untuk tidak menyentuh sedikitpun keindahan dunia. Ketakutan yang demikian besar kalau-kalau dia tertipu godaannya.

Berbanding terbalik dengan hamba dunia. Mereka enggan menikah. Tidak tertarik dengan kehidupan mewah. Rumahnya tak lebih dari ruangan yang cukup untuk merebahkan badan, bahkan tidak jarang hanya berupa kain dipancangkan membentuk tenda sederhana. Makanan yang dikonsumsi hanyalah roti keras atau beras yang tak layak makan. Pakaian compang-camping dianggap cukup sebagai penutup badannya. Hidupnya hanya dihabiskan untuk memuja-muji Allah. Beribadah tanpa mengenal waktu. Akherat menjadi tujuan hidup mereka tanpa melirik sedikitpun dunianya.

Terkadang kehidupan semacam ini menjadi pelampiasan para hamba dunia yang terhempas karena tipuannya. Mereka yang jatuh terpuruk setelah dunia mengecohnya. Godaan dunia menipunya karena terbutakan dengan ambisi dan obsesi. Berbondong-bondong mereka meninggalkan dunianya menjadi orang-orang sufi. Seakan mereka telah menemukan cahaya dalam kelamnya kehidupan mereka sebelumnya.

Mirisnya mereka melupakan tugas yang Allah bebankan kepada Adam di awal penciptaan dahulu. Allah memberi tanggungjawab Adam sebagai seorang khalifah dimuka bumi. Mengatur bumi, mencegahnya dari kerusakan, dan membumikan syari’at. Dengan menjadi orang-orang sufi, secara tidak langsung mereka telah melupakan kewajiban yang satu ini.

Masih terngiang perkataan ibunda Aisyah tentang Umar bin Khottob saat melihat para pemuda hanya terpekur di tempat ibadah, berjalan lemas dengan muka tertunduk, “Wahai pemuda, ketahuilah Umar adalah sebaik-baik ahli ibadah, tetapi ketika dia berkata lantang, ketika berjalan tegap, ketika memukul pun terasa sakit”.

Atau, kisah seorang mujahid, ahli ibadah, ahli ilmu, Ibnul Mubarrok, yang mengirim syair kepada Fudahil bin ‘Iyadh sebagai penjaga tanah Haramain. Dia adalah sebaik- baik contoh pada masanya, dia sangat wara’ tetapi tidak meninggalkan dunianya sama sekali. Bahkan, dalam sebuah riwayat dikisahkan dia menanggung biaya haji orang sekampungnya.

Suatu ketika Ibnul Mubarok mendatangkan kafilah dagang dari khurosan ke mekkah, kemudian al- Fudhail berkomentar, “Wahai Al Mubarak Anda telah memerintahkan kepada kami agar berlaku zuhud, menyedikitkan hal-hal duniawi dan merasa cukup namun kami melihat anda membawa barang-barang dari negara khurasan ke tanah mekah, bagaimana kamu melakukan itu? Ibnu Al Mubarak menjawab, “Wahai Abu Ali, sesungguhnya aku melakukan hal itu untuk menjaga diriku, menjaga kehormatanku dan untuk menopang dalam bertaat kepada Allah, aku tidak melihat kebaikan kecuali aku harus melakukannya dengan cepat.” Subhanallah, sangat cerdas apa yang dilakukan oleh beliau Ibnul Mubarok. Memanfaatkan dunianya untuk menyokong kepentingan akhiratnya kelak.

Dunia kerap kali menipu kita dengan pesonanya. Namun, bukan berarti kita menjadi antipati dan meninggalkannya total. Menjadi hamba dunia bukan pilihan yang tepat. Akan tetapi, mengebiri diri dengan menjadi orang sufi juga bukanlah solusi yang dibutuhkan.

Pernah suatu kali Rasul mendengar ada sahabatnya yang berniat untuk menjauhi dunia, “Aku akan berpuasa terus menerus tanpa berbuka, aku akan sholat semalam suntuk tanpa berhenti untuk tidur, aku akan melajang terus tanpa menikahi wanita.” Rasul yakin, tujuan mereka hanyalah satu, untuk semakin mendekatkan dirinya kepada Allah. Meskipun demikian, beliau menegur mereka, “Aku adalah sebaik-baik hamba Allah, tetapi aku puasa dan aku berbuka, aku sholat malam dan aku tidur, akupun menikahi wanita.” Demikian Rasulullah junjungan kita mencontohkan. Menikmati dunia sebagai tanda syukur, bukan antipati terhadapnya atau malah bertamak-tamak mengejarnya.

Belajar Cinta Dari Ali dan Fatimah

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.

Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.

Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!

Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.

Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.

Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.

Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.

”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan membelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..

Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.

Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.

’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”

Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.

Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.

Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.


Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?

Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”

”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.

”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.

Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.

Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,

“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”

Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.


Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,

dalam suatu riwayat dikisahkan

bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)

Fathimah berkata kepada ‘Ali,

“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”

‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”

Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”



~yang salah dari pacaran itu bukan perasaannya, melainkan jalan yang kita pilih, untuk mempertanggungjawabkan perasaan tsb lah, yang tidak bijak...~


:) semoga istiqomah, ini memang tidak mudah. :)


Baarakallaahufiikum....

Sedekah Si Kaya Semangat Si Miskin

Ironis terkadang, saat kita bisa tidur nyenyak di atas kasur empuk. Perut dipenuhi dengan berbagai jenis masakan lezat. Sedang, tak jauh dari rumah kita, seorang ibu tengah sibuk menidurkan anaknya yang menangis kelaparan. Suaminya tak kunjung pulang karena masih berkeliling menjajakan dangannya yang masih utuh belum laku satupun.

Malu diri kita bila membaca kembali kisah Khalifah Umar bin Khattab yang berkeliliing di malam hari. Memeriksa keadaan warganya satu persatu. Ternyata, ada satu rumah yang masih tampak kehidupan di dalamnya. Beberapa orang anak merengek- rengek kelaparan sedang ibunya sibuk mengaduk batu untuk mengelabuhi anak-anaknya, berharap mereka tenang dan tertidur meski dalam keadaan lapar. Terkejut bukan kepalang Umar melihat kondisi tersebut. Segera dia menuju Baitul Maal mengambil sekarung gandum. Dipikulnya sendiri karung tersebut. Satu hal yang berputar di kepalanya jangan sampai dia menzalimi rakyat negara yang di amanahkan kepadanya. Jangan sampai ada rakyatnya yang tidur dalam keadaan lapar sedangkan dia sendiri terpenuhi kebutuhannya.

Hal seperti ini pada zaman sekarang seakan sudah luput dari perhatian kita. Sikap peduli sesama. Hubungan yang harmonis antara si kaya dan si miskin. Semua hilang digantikan dengan keegoisan masing- masing. Prasangka- prasangka buruk telah menghiasi keseharian kita.

Si kaya membuang muka pada si miskin. Mengangapnya tak mau berusaha.Karenanya si miskin terkadang menjadi aproiri kepada orang kaya. Dia menolak dan merasa harga dirinya terinjak- injak bila harus menghadapi si kaya untuk meminjam sepeser uang guna memenuhi kebutuhan mereka yang mendesak. Tercipatalah anggapan lebih baik meregang nyawa kelaparan daripada harus menginjakkan kaki kerumah si kaya.

Atau fenomena lainnya, si miskin tak mau lagi berusaha dan memelas- melaskan dirinya agar dikasihani. Si kaya yang baik hati dan ikhlas membantu di manfaatkan, bahkan ada pihak- pihak yang menipunya di karenakan kebaikannya. Walhasil, bisa jadi kebaikan yang ada tadi berganti dengan rasa dengki. Kecewa karena i’tikad baiknya dimanfaatkan secara keliru.

Melihat beberapa kejadian diatas yang mungkin pernah kita alami, hati kita menjadi sangsi. Tak salah bila pemerintah pada bulan januari kemarin mengeluarkan peraturan yang akan menindak pengemis dan juga orang yang memberinya uang. ”Apa yang salah dengan syariat sedekah ?”,pertanyaan itu seakan menggantung di benak kita.

Yang salah bukan syariatnya. Tetapi subjek maupun objek yang melakukannya yang tidak memahami spirit sedekah dengan benar. Lihatlah betapa Rasulullah mengharagai orang- orang yang bersedekah. Begitu banyak nash- nash motivator untuk bersedekah. Dengan harapan orang- orang menjadi giat bersedekah. Sedekah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian mereka. Sebagaimana Abu Bakar yang mensedekahkan semua hartanya tanpa menyisakan sedikitpun, “Cukup Allah dan Rasul-Nya bagi keluargaku” demikian ujarnya ketika Rasulullah menanyakan perihal keluarganya. Sehingga orang yang keadaan ekonominya pas- pasan pun termotivasi untuk mesedekahan hartanya walaupun sedikit. Orang miskin berlomba- lomba dengan giat berusaha agar bisa mensisihkan hartanya untuk di sedekahkan. Begitu mulianya orang yang bersedekah.

Dalam lingkup suatu masyrakat, sebenarnya sedekah itu sendiri bisa menjadi program penstabilan kondisi ekonomi suatu masyarakat. Kesejahteraan sosial yang merata bisa terwujud bila program sedekah ini menjadi agenda yang tidak lepas dari keseharian setiap orang. Tidak ada lagi berita yang mengabarkan seorang nenek tua mati kelaparan di gubuknya, padahal tak jauh dari gubuknya sebuah perumahan mewah berdiri menjulang. Tidak ada lagi kisah tentang bayi yang dibuang orang tuanya di tempat pembuangan sampah, karena merasa tak sanggup lagi membiayai hidup. Yang kaya peduli dengan si miskin. Yang miskin merasa di perhatikan dan menghormati si kaya.

Sedekah memang ajaib. Sedekah memiliki berbagai macam faedah yang kadang tidak terpikirkan oleh kita. Jadi salah bila masih ada orang-orang yang berfikiran seperti di atas. Si kaya harus melapangkan hati untuk ikhlaskan sedikit hartanya disisihkan. Si miskin harus mawas diri dan berusaha supaya kelak dia menjadi si “tangan di atas”. Sedekah dengan spirit yang tepat menjadi solusi dari itu semua. Menghacurkan benteng yang memisahkan antara 2 golongan. Melembutkan hati si kaya dan menghilangkan prasangka si miskin. Mempebaiki kesenjangan sosial yang ada.